TEMPO.CO, Jakarta -Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej menanggapi tagar #SemuaBisaKena pada pasal penghinaan Presiden yang sempat viral di sosial media. Menurutnya tagar tersebut merupakan logika sesat.
"Tagar #SemuaBisaKena, pertanyaan itu saya balik, itu kan sudah ada dalam KUHP yang lama, apa semua kena? Jadi tagar semua bisa kena itu logika sesat," kata pria yang akrab disapa Eddy itu saat sosialisasi KUHP pada program Kumham Goes To Kampus di Universitas Palangka Raya, Rabu, 26 Oktober 2022.
Eddy meminta mahasiswa tidak terprovokasi tagar tersebut. Sebab, kata dia, pihak yang merancang Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) merujuk pada Mahkamah Konstitusi. "Jadi jangan terprovokasi dengan tagar-tagar yang tidak masuk akal itu. Kita tidak menghidupkan barang yang sudah mati karena setiap apa yang kita lakukan itu betul-betul merujuk pada Mahkamah Konstitusi," ujarnya.
Eddy pun mencontohkan demonstran di Australia pernah berunjuk rasa dengan seekor anjing yang ditempeli foto perdana menteri. Peristiwa itu terjadi saat Presiden Amerika Serikat, George W Bush menginvasi Irak bersekutu dengan Australia. Para pendemo pun menempeli wajahnya dengan foto George Bush dan anjingnya ditempeli wajah John Howard.
"Apa anda mau Presiden kita seperti itu? Apa anda mau kritikan atau apa yang anda mau tidak sejalan dengan sila keadilan dan beradab?" ucap Eddy.
Menurut Eddy penghinaan Presiden di setiap negara memang berbeda. Ia meminta masyarakat untuk tidak membanding-bandingkannya. Eddy menjelaskan pasal penghinaan presiden itu berdasarkan dua hal, yakni penistaan dan fitnah. Konstitusi Indonesia, kata dia, menjamin kebebasan berpendapat, namun tidak dengan menghina.
"Inti penghinaan itu ada dua. Satu adalah menista. Yang dilakukan di Australia itu menista. Tetapi bagi mereka itu hal yang legal. Menyatakan orang dengan kebun binatang itu menista. Dan yang kedua itu adalah fitnah," ujar Wamenkumham Eddy. "Pasal 28 UUD 45 menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran lewat tulisan, mengkritik, dan sebagainya. Tapi konstitusi kita tidak menjamin kebebasan menghina."
Baca Juga: Kunjungan ke Palangka Raya, Wamenkumham Sosialisasikan Perlunya Pembaruan KUHP