TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Doni Monardo, merisaukan julukan Kota Padang Panjang, Sumatera Barat (Sumbar), sebagai Kota yang Berbahagia--sebagaimana dikatakan novelis Ali Akbar Navis, pengarang buku fenomenal Robohnya Surau Kami. Pasalnya, pria berdarah Minang tersebut melihat banyak kerusakan alam di sana, terutama akibat penambangan.
Kerisauan ini telah lama dirasakan Doni. Dia makin risau ketika memimpin BNPB pada 2019 -2021. Dalam berbagai kunjungan terkait kebencanaan ke Sumbar, dia secara langsung melihat bagaimana air sungai tidak lagi jernih. Longsor yang mendera serta banjir bandang yang memilukan. Pencemar sungai adalah praktik penambangan liar. Sekalipun banyak penambang liar ditindak aparat keamanan, faktanya, keberadaan mereka masih marak di lapangan.
Doni menumpahkan kerisauannya saat memberi kuliah umum di hadapan sekitar 400-an mahasiswa Indonesia Art Institute of Padang Panjang (ISI Padang Panjang) di Gedung Pertunjukan Huriah Adam, Jumat, 21 Oktober 2022. Eks Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) ini mengajak semua kalangan masyarakat Minang untuk sama-sama menjaga alam Sumbar agar pulih. Menurut dia, alam yang lestari bukan hanya untuk generasi masa kini, tetapi warisan bagi generasi yang akan datang.
Doni juga menyampaikan kerisauannya terhadap abrasi yang terjadi di Pantai Padang. Doni mengajak masyarakat Minang tanpa terkecuali untuk melakukan penyelamatan Pantai Padang. Opsinya adalah mitigasi berbasis vegetasi. Antara lain dengan pembentukan Tombolo. Dengan metode ini, kelak ombak yang membawa pasir, lambat laun menciptakan gumuk pasir, yang kemudian bisa menjadi tambahan daratan baru.
Menurut dia, ada dua cara membentuk Tombolo. Pertama dengan metode submerged offshore breakwater atau pemecah gelombang lepas pantai terendam. Kedua dengan metode Detached offshore breakwater atau pemecah gelombang lepas pantai terpisah. “Waktu kecil saya sering lari-lari, main bola di pinggir pantai. Saya ingat, jarak bibir pantai dengan jalanan relatif jauh, tapi kondisi sekarang berbeda sekali. Jarak bibir pantai ke jalan semakin dekat karena abrasi,” katanya.
Bagi Doni, dalam upaya melestarikan lingkungan semua pihak memiliki peran penting, bahkan pelaku seniman. Dalam kesempatan itu, Doni menceritakan pengalamannya mengatasi problem lingkungan di berbagai daerah. Antara lain program Citarum Harum di Jawa Barat dan penambangan liar Gunung Botak di Pulau Buru, Maluku. Pengalaman itu pula yang menyadarkannya bahwa para seniman memiliki peranan penting dalam upaya pelestarian lingkungan.
Doni berharap mahasiswa ISI Padang Panjang mampu menjadi bagian dari ecocracy atau kedaulatan lingkungan hidup yang akan mengemban tugas dalam pembenahan lingkungan sekaligus meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar. “Para mahasiswa ISI Padang Panjang mestinya juga turut mengambil peran dalam pelestarian lingkungan, baik melalui karya maupun terjun langsung ke lapangan. Dan yang tak kalah pentingnya melakukan perubahan perilaku,” ujarnya.
HENDRIK KHOIRUL MUHID
Baca juga: Doni Monardo, dari Komandan Paspampres Sampai Urus Citarum