TEMPO.CO, Malang - Keluarga korban tragedi Kanjuruhan, Malang membatalkan ekshumasi yang dilanjutkan dengan autopsi lantaran mengalami intimidasi. Federasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menerima pengaduan dari Devi Athok Yulfitri, 43 tahun warga Desa Krebet Senggrong, Kecamatan Bululawang, Kabupaten Malang.
“Awalnya Devi bersedia kedua jenazah anaknya diautopsi,” kata Sekretaris Jenderal Federasi Kontras, Andy Irfan, Rabu 19 Oktober 2022.
Ekshumasi adalah penggalian kubur untuk identifikasi forensik penyebab kematian seseorang.
Surat pernyataan bersedia ekshumasi dan autopsi diteken Devi 10 Oktober 2022. Kedua putri Devi, Natasya Debi Ramadhani, 16 tahun, dan Nayla Debi Anggraeni, 13 tahun, menjadi korban meninggal dalam tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022.
Tak hanya kehilangan kedua putrinya, Devi juga kehilangan bekas istrinya. Mereka menonton bersama laga Arema FC lawan Persebaya di stadion Kanjuruhan.
Devi, kata Andy, terintimidadi dengan kehadiran sejumlah pejabat hingga aparat hukum. “Bahkan, mereka mendekte untuk menulis surat membatalkan autopsi,” kata Andy.
Sedangkan autopsi dibutuhkan untuk mengetahui penyebab kematian korban. Terutama membuktikan, korban yang meninggal setelah terpapar gas air mata. Autopsi dilakukan, kata Andy, dengan persetujuan keluarga atau ahli waris.
"Dia sekarang Syok,” ujarnya.
Devi juga telah mengajukan perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Namun, hingga kini tak ada respons dari LPSK untuk memberi perlindungan atau menempatkan Devi di rumah aman.
“Ketika proses hukum berjalan, ancaman terhadap saksi dan korban tinggi,” katanya. Ia menuding aparat penengak hukum telah melakukan upaya menghambat penengakan hukum.
Hingga berita ini diturunkan, Tempo masih berupaya meminta konfirmasi pihak-pihak terkait.
EKO WIDIANTO
Baca: Komnas HAM: Pengawas Pertandingan Tahu Polisi Bawa Benda yang Dilarang PSSI tapi Tak Lapor