Kementerian Kesehatan didukung para penggiat pengendalian tembakau merasa perlindungan terhadap anak dari zat adiktif harus disegerakan, berjalan beriringan dengan pemulihan ekonomi karena pandemi. Ada enam substansi revisi yang diperjuangkan, yakni perluasan peringatan Kesehatan bergambar pada kemasan, dari 40 persen menjadi 90 persen, penjualan rokok ketengan, larangan total iklan rokok, penjualan rokok ke anak, rokok elektronik, dan pengawasan terhadap iklan dan peringatan bergambar jika ditemukan tak sesuai dalam aturan yang dipercayakan kepada Badan POM.
Hasil yang mengambang itu sejalan dengan lambatnya Biro Hukum Kementerian Kesehatan yang menargetkan revisi beleid itu bukan tahun ini tapi tahun depan. Revisi akan dimasukkan dalam Program Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Pemerintah, yang biasanya disusun akhir tahun.
"Padahal jelas ditetapkan di Program Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Pemerintah, ada slot 20 persen yang bisa disegerakan bila dianggap genting," kata sumber di Kementerian Kesehatan kepada Tempo, kemarin. "Percaya deh, kalau tahun depan, ada dugaan, sudah mulai tahun politik, 'Jangan ngomong macam-macam, jangan bicara yang mengganggu stabilitas ekonomi dan politik'," katanya menambahkan.
Kondisi ini amat menyedihkan bila mengingat, iklan rokok begitu brutal menyasar anak-anak. Apalagi, selama pandemi, anak-anak terpaksa belajar menggunakan Internet. Mereka begitu mudah mengakses semua iklan rokok di Internet.
Pemasaran Iklan Rokok di Internet
Vital Strategies, badan Kesehatan global yang berkantor di New York, Amerika Serikat membuat platform pemantauan gerakan penegakan dan laporan tembakau (TERM) untuk melaporkan secara berkala industri rokok yang beriklan secara brutal di media sosial. Dalam laporan pada periode Maret – April 2022 itu misalnya, terpantau hampir 3.000 kegiatan pemasaran rokok dilakukan selama periode ini. “Pemasaran produk rokok konvensional, sebanyak 77% berjumlah 3,5 kali lebih banyak dari kegiatan pemasaran rokok elektronik, 21 persen,” kata Rachfiansyah, Communication Officer kepada Tempo, Kamis, 13 Oktober 2022.
Perusahaan rokok memasarkan produknya di media sosial. Dok. Vital Strategies.
Pada gambar berikutnya menunjukkan, pemasaran yang dilakukan produk rokok konvensional itu dilakukan oleh Djarum dan Gudang Garam. Adapun pemasaran untuk rokok elektronik tersebar di banyak merek seperti VOOPOO, GeekVape, dan SMOK. “Dan merk yang terpantau paling aktif memasarkan produk-produknya adalah Djarum untuk produk rokok konvensional dan VOOPOO, (rokok elektrik,” ujar Rachfiansyah ini menuturkan.
Menurut dia, mereka benar-benar memanfaatkan platform media sosoal untuk memasarkan produknya. “Platform yang merupakan bagian layanan jejaring sosial Meta benar-benar menjadi rumah bagi sebagian besar kegiatan pemasaran tembakau yang terpantau (90%). Sebagian besar dari kegiatan pemasaran yang terpantau (55%) terdapat di Instagram, diikuti oleh Facebook (35%) dan YouTube (7%).
Perusahaan rokok memasarkan produknya. Foto: Vital Strategies.
Rachfiansyah juga menjelaskan, rokok konvensional benar-benar menggunakan semua platform media sosial dan situs berita. "Mereka menggunakan Twitter dan situs berita sampai 100 persen," ujarnya. Berikutnya, mereka banyak beriklan di Instagram sebanyak 81 persen, TikTok dan Youtube masing-masing 76 persen, dan Facebook 66 persen.
Sebaliknya, rokok elektronik sama sekali tidak memanfaatkan situs berita dan Twitter. Tapi, mereka cukup banyak memanfaatkan Facebook (32%), TikTok (24%), Youtube (24 %), dan Instagram 17 persen.
Tinggal Komitmen Pemerintah Mau Lindungi Anak atau Tidak
Ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari menuturkan, sebenarnya tinggal komitmen pemerintah untuk melindungi anak-anak dari serbuan promosi rokok. "Ada PP Nomor 59 tahun 2019, tentang Koordinasi Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa pelarangan iklan rokok dan adanya Kawasan Tanpa Rokok adalah bentuk perlindungan dan pemenuhan hak kesejahteraan anak," katanya, kemarin.
Aturan ini, menurut Lisda, dilengkapi dengan Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2021 tentang Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak yang terdiri atas dokumen nasional KLA dan rencana aksi nasional. "Di Perpres 2021 menyebutkan pelarangan iklan rokok dn KTR adalah indicator kota layak anak. Dua aturan itu bisa jadi percepatan melindungi anak-anak agar segera merevisi PP 109/2012," kata dia.
Lisda meminta pemerintah benar-benar memperhatikan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2024 yang ingin mengurangi prevalensi perokok anak dari 9,1 persen ke 8,7 persen. "RPJMN kita tahun lalu sudah gagal. Anak-anak melihat iklan rokok di internet. Kita sudah tidak bisa menghindarkan dari akses internet, maka yang kami minta adalah melindungi mereka," ucapnya.
Baca juga: Yayasan Lentera Anak Dorong Pemerintah Sahkan Revisi PP Soal Produk Tembakau