Kasus-kasus unjuk rasa
Selain penggunaan UU yang represif, pembatasan ruang sipil juga datang dalam bentuk penindasan polisi dan penggunaan kekuatan yang berlebihan terhadap pengunjuk rasa.
Antara 2019 hingga 2021, terdapat beberapa demonstrasi mahasiswa yang besar dan meluas terkait kebijakan pemerintah, termasuk protes atas RKUHP pada tahun 2019 dan Omnibus Law pada tahun 2020. Selama aksi demonstrasi 2019, polisi menggunakan kekuatan yang berlebihan terhadap para demonstran seperti pemukulan dan perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Hal itu juga termasuk pelemparan batu dan benda-benda lainnya, serta penggunaan gas air mata, peluru karet, dan peluru tajam. Polisi menahan atau menangkap secara sewenang-wenang terhadap sekitar 1.489 pengunjuk rasa dan 380 di antaranya didakwa dengan berbagai tuduhan kejahatan.
Aksi demonstrasi 2020 juga diikuti dengan penangkapan sewenang-wenang dan penggunaan kekuatan berlebihan oleh polisi berupa kekerasan fisik dan verbal, pemukulan, serta penggunaan gas air mata terhadap pengunjuk rasa. Amnesty International Indonesia melakukan verifikasi dan menerbitkan 51 video penggunaan kekuatan berlebihan oleh polisi terhadap pengunjuk rasa Omnibus Law. Amnesty International Indonesia juga telah memverifikasi setidaknya 16 kasus yang mengakibatkan penangkapan terhadap 128 korban, namun jumlah tersebut diduga lebih tinggi dari yang dilaporkan.
Polisi juga merepresi demonstrasi di Papua, terutama terkait dengan UU Otonomi Khusus yang tahun lalu disahkan. Berbagai aksi protes tersebut sering ditanggapi dengan penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat keamanan Indonesia. Meskipun Amnesty International telah memverifikasi aparat penegak hukum menangkap atau menggunakan kekuatan secara berlebihan terhadap setidaknya 74 pengunjuk rasa, namun jumlah aktualnya bisa lebih tinggi.
Aktivis Papua, Wensislaus Fatubun, mengatakan kepada Amnesty International dalam sebuah wawancara, dalam dua tahun terakhir ia melihat pola aparat keamanan yang lebih represif terhadap pengunjuk rasa di Papua yang mengkritik kebijakan pemerintah seperti otonomi khusus, sementara mereka yang mendukung kebijakan tersebut mendapatkan perlakuan khusus.
“Mereka yang memprotes (kebijakan pemerintah) ditindas, dibubarkan, dan bahkan dibungkam. Sementara mereka yang setuju difasilitasi, itu sangat jelas,” kata Wensislaus.
Amnesty International Indonesia mendokumentasikan setidaknya 13 kasus dengan 17 korban percobaan pembunuhan dan atau ancaman pembunuhan terhadap pembela HAM yang dilakukan antara Januari 2019 hingga Mei 2022. Namun, pihak berwenang seringkali gagal dalam menyelidiki ancaman ini dan membawa pelaku ke pengadilan.
“Kelambanan ini memberikan impunitas kepada pelaku dan dapat mewajarkan ancaman serta serangan lebih lanjut,” ujar Usman.
Pada Januari 2019, rumah Murdani, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) cabang Nusa Tenggara Barat (NTB), salah satu anggota jaringan Friends of the Earth International, diserang dan dibakar oleh pihak tak dikenal. Murdani telah mengadvokasi banyak masalah lingkungan dan kemanusiaan di provinsi pariwisata dan kaya akan sumber daya alam tersebut, termasuk mengenai pengelolaan limbah, pembalakan liar, penambangan pasir, dan bantuan bencana alam. Hingga laporan ini ditulis, kasus pembakaran tersebut masih belum terselesaikan dan belum ada kabar terbaru dari polisi mengenai pelaku.
Kemudian Veronica Koman, seorang advokat yang menjadi korban serangan fisik dan digital, mengatakan kepada Amnesty International dalam sebuah wawancara, serangan-serangan tersebut menciptakan sebuah efek yang menakutkan bagi masyarakat untuk menyuarakan pendapat.
“Para pelaku penyerangan mencoba untuk mendehumanisasi saya, baik dari segi gender maupun rasial,” kata Veronica Koman.
Sejumlah yayasan bantuan hukum juga menjadi sasaran intimidasi dan penyerangan pihak tak dikenal. Pada September 2021, bom molotov dilemparkan ke Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Pada bulan yang sama, serangan serupa terjadi di kantor lembaga bantuan hukum di Bali, Himpunan Penerus Pejuang Pembela Tana Air (LBH HPP PETA), di mana dua orang tak dikenal melemparkan bom molotov ke Kantor LBH HPP PETA. Pada Mei 2022, sebuah sepeda motor dibakar di garasi Kantor LBH Papua di Jayapura. Meskipun polisi telah menyelidiki kasus-kasus ini, belum ada pembaruan mengenai perkembangan penyelidikan.
“Laporan ini dengan jelas menunjukkan kegagalan dan keterlibatan aktif negara dalam pelanggaran HAM serius yang mengarah pada memburuknya situasi HAM di negara ini,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.
Baca: Komnas HAM Berikan 3 Saran untuk TGIPF Tragedi Kanjuruhan