TEMPO.CO, Malang - Eko Arianto, seorang suporter Aremania, menjadi saksi bagaimana Tragedi Kanjuruhan terjadi pada Sabtu, 1 Oktober 2022. Dia menyebut nyaris seluruh pintu stadion tertutup sehingga banyak suporter tak bisa keluar saat itu.
Pria berusia 29 tahun itu mengaku sedang berada di luar stadion saat kejadian itu. Eko sedang berbincang dengan rekannya dan memilih tak menonton di dalam stadion meskipun telah mengantongi tiket.
"Saya sudah sering menonton sejak 1994," kata dia, Senin, 3 Oktober 2022.
Sejumlah aparat, menurut Eko, pun terlihat duduk dan minum kopi di sejumlah warung di selasar stadion.
Saat sedang asyik mengobrol, Eko yang mengaku kerap menonton pertarungan dua tim terbesar di Jawa Timur sejak berusia 6 tahun dikejutkan dengan lima suara tembakan. Dalam waktu sekejap, suara jeritan manusia dan gedoran pintu terdengar dari Pintu 10 yang tak jauh dari tempat dia berada.
“Terdengar banyak yang menggedor dan menjerit,” katanya.
Eko yang bingung melihat rekannya sesama Aremania berhamburan keluar setelah berhasil menjebol pintu besi. Sejumlah perempuan terlihat lemas lalu pingsan setelah berada di luar stadion. Eko sempat berusaha menolong, tetapi korban yang keluar semakin banyak.
Tiba-tiba dia teringat adik dan saudaranya yang berada di dalam stadion. Mereka berada di tribun yang dekat dengan Pintu 13 dan Pintu 14. Dia pun bergegas melihat kedua pintu tersebut yang ternyata tertutup.
“Semua pintu ditutup. Hanya Pintu 14 yang dibuka,” katanya.
Di Pintu 13, Eko mendengar suara jeritan dan meminta tolong. Mereka berusaha membuka pintu dan menjebol ventilasi. Eko berusaha membuka pintu besi, namun gagal.
Tak putus asa, ia berlari meminta tolong aparat keamanan yang berada di luar stadion, termasuk meminta bantuan petugas medis. Sayangnya upaya Eko tak berhasil. Dia bahkan menjadi korban pemukulan seorang anggota TNI yang mengiranya sebagai bagian dari para suporter yang membuat kericuhan.
Berhasil lolos dari sergapan anggota TNI itu, Eko akhirnya masuk melalui pintu utama untuk menembus stadion. Dia pun berlari menuju ke Pintu 13. Sesampainya di sana Eko kaget dengan pemandangan ratusan orang tergeletak di sana. Dengan tenaga yang tersisa, ia membantu mengevakuasi korban ke ruangan dalam. Korban sebagian besar anak-anak dan perempuan.
“Pintu 13 semacam kuburan massal. Aku nggak kuat....,” ucapnya kemudian terisak.
Tragedi Kanjuruhan terjadi pasca laga BRI Liga 1 antara Arema FC vs Persebaya Surabaya berakhir dengan skor 2-3. Aremania yang tak puas dengan hasil itu masuk ke lapangan dan terlibat kericuhan dengan aparat kepolisian.
Polisi lantas melepaskan tembakan gas air mata ke arah tribun untuk membubarkan massa. Suporter yang panik lantas berdesakan keluar sehingga mengalami sesak nafas dan kekurangan oksigen.
Penggunaan gas air mata oleh kepolisian itu menjadi permasalahan karena melanggar aturan keselamatan FIFA. Dalam aturannya, FIFA melarang aparat untuk membawa dan menggunakan senjata api maupun gas air mata di dalam stadion. Akibat Tragedi Kanjuruhan ini, Kapolri mencopot Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat dan 9 komandan Brimob Polda Jawa Timur. Sebanyak 28 anggota polisi pun menghadapi pemeriksaan kode etik.
EKO WIDIANTO| ABDI PURMONO