TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Papua Lukas Enembe ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK sebagai tersangka kasus suap Rp 1 miliar pada Rabu 14 September 2022. Lukas dipanggil sebagai saksi pada 12 September 2022, dan sebagai tersangka pada 26 September 2022. Namun dia mangkir dari dua pemanggilan tersebut. Kuasa hukum Lukas, Stefanus Roy Rening mengatakan kliennya sedang sakit.
Menanggapi mangkirnya Lukas dalam memenuhi panggilan KPK, Indonesia Corruption Watch atau ICW mendesak KPK segera mengeluarkan ultimatum. ICW meminta lembaga anti rasuah memberi ancaman upaya jemput paksa jika Lukas kembali mangkir pada pemeriksaan kedua. “ICW mendesak KPK agar segera memberikan pesan ultimatum terkait penjemputan paksa kepada Gubernur Papua Lukas Enembe,” kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada wartawan, Senin, 26 September 2022.
Mekanisme Jemput Paksa Berdasarkan KUHAP
Perundang-Undangan Indonesia memang membolehkan penjemputan paksa terhadap tersangka yang mangkir memenuhi pemanggilan untuk kelangsungan penyelidikan. Lalu bagaimana mekanisme jemput paksa tersangka ini?
Kendati tidak dilarang, istilah penjemputan atau pemanggilan paksa sebenarnya tidak tertera di Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP. Dalam KUHAP, istilah penjemputan paksa disebut dengan “dihadirkan dengan paksa”. Berbeda dengan penangkapan, penjemputan paksa dapat dilakukan setelah pihak terkait mangkir dari pemanggilan lebih dari sekali. Sementara penangkapan dilakukan tanpa melakukan pemanggilan terlebih dahulu.
Adapun pihak yang dapat dijemput paksa adalah tersangka atau saksi sebuah kasus yang tidak kooperatif untuk memenuhi panggilan, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 112 ayat 2 KUHAP. Utamanya bagi tersangka maupun saksi yang mangkir hingga dua kali. Berikut bunyinya, “Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya”.
Tapi tak sembarangan, penjemputan paksa terhadap tersangka maupun saksi harus memenuhi unsur atau syarat dihadirkan dengan paksa. Dalam Pasal 17 KUHAP disebutkan bahwa penjemputan paksa seseorang harus diawali dengan bukti permulaan yang cukup untuk membuktikan bahwa orang tersebut melakukan atau menyaksikan suatu tindak pidana. “Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.”
Perihal bukti permulaan yang cukup, hal ini diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Dijelaskan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Alat bukti yang sah ialah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
HENDRIK KHOIRUL MUHID
Baca: Wakil Ketua KPK Sebut Tambang Emas, Lukas Enembe Kemudian Mengaku Punya Tambang Emas
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.