TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK menetapkan Gubernur Papua Lukas Enembe sebagai tersangka kasus suap senilai Rp 1 miliar pada Rabu, 14 September 2022. Penetapan ini menuai protes besar-besaran dari pendukung Lukas di Jayapura.
Berdasarkan pantauan Tempo, sepekan setelah penetapan, muncul gelombang pembelaan masyarakat dengan slogan “Save Lukas Enembe” baik di Papua maupun di Jakarta.
Lukas Enembe, KPK dan Tambang Emas
Menanggapi hal ini, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengungkapkan bahwa dengan kemunculan undang-undang yang baru, KPK bisa mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau SP3. Syaratnya, Lukas Enembe bisa membuktikan asal-usul uang miliaran yang dimilikinya. Pernyataan ini Alex sampaikan saat jumpa pers di Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia atau Kemenko Polhukam, Senin, 19 September 2022.
“Kalau nanti Pak Lukas Enembe bisa tunjukkan dari mana uang puluhan ratusan miliar tersebut, misalnya dari tambang emas, ya sudah pasti akan kami hentikan. Tapi mohon itu diklarifikasi, penuhi undangan KPK, panggilan KPK untuk diperiksa," kata Alex dalam konpers pada 19 September 2022.
Mengetahui pernyataan KPK tersebut, Kuasa Hukum Lukas, Stefanus Roy Rening mengaku tergugah untuk menanyakan kepada Lukas perihal kepemilikan tambang emas. Dalam konferensi pers di Jakarta, Senin, 26 September 2022, Roy menuturkan ulang percakapannya dengan kliennya itu. Menurut Roy, mulanya Lukas menjawab dengan bercanda, mengakui bahwa Freeport adalah miliknya. “Dengan tersenyum dia katakan, Freeport itu saya punya, masa kamu ragu?” kata Roy menirukan ucapan Lukas.
Namun Lukas, kata Roy, akhirnya menjawab bahwa dirinya memang memiliki tambang emas. Tambang tersebut ada di kampung Lukas di Tolikara Mamit. Kepada Roy, Lukas menjelaskan bahwa tambang emasnya sedang dalam proses perizinan. Staf Lukas yang mengurus dokumen-dokumen tambang tersebut untuknya. “Intinya bahwa bapak punya,” ujar Roy dalam konferensi pers.
Kemudian KPK menyayangkan pernyataan Roy yang menyebut kliennya punya tambang emas tersebut. Menurut KPK, hal ini seharusnya langsung disampaikan ke penyidik pada saat pemeriksaan. Ali mengatakan pembuktian perkara harus disampaikan di tempat dan waktu yang tepat di ruang pemeriksa. Alih-alih justru pihak Lukas Enembe malah menggelar konferensi pers ketimbang menghadiri pemeriksaan di KPK.
“Membangun narasi dan opini di luar bagi kami itu bukan sebuah pembuktian,” kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri, di Jakarta, Senin, 26 September 2022.
Menurut KPK, penetapan Lukas menjadi tersangka gratifikasi Rp 1 miliar hanyalah pintu masuk untuk kasus lain yang ditengarai melibatkan Lukas. Kasus itu diduga berupa korupsi ratusan miliar Rupiah dan pencucian uang. Namun protes yang dilayangkan masyarakat justru terkesan seolah KPK mengriminalisasi Gubernur Papua itu. Selain itu Lukas juga tidak kooperatif, dia dua kali mangkir dari pemanggilan dengan alasan sakit. Pertama sebagai saksi pada 12 September 2022, dan kedua sebagai tersangka pada 26 September 2022.
Sementara itu, Indonesia Corruption Watch atau ICW mendesak KPK segera mengeluarkan ultimatum kepada Lukas. ICW meminta KPK menjemput paksa Lukas jika kembali mangkir pada pemeriksaan yang kedua. “ICW mendesak KPK agar segera memberikan pesan ultimatum terkait penjemputan paksa kepada Gubernur Papua Lukas Enembe jika hari ini ia tidak hadir memenuhi panggilan penyidik,” kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada wartawan, Senin, 26 September 2022.
ICW juga mengkritik pernyataan KPK terkait penawaran SP3 kasus Lukas terkesan diskriminatif. Sebab, KPK baru pertama kali menawarkan hal ini kepada tersangka korupsi. Menurut Kurnia, sebagai aparat, KPK cukup menyampaikan kewajiban hukum Lukas untuk menghadiri proses pemeriksaan, bukan malah mengumbar SP3.
“Selain itu, narasi terhadap Lukas ini praktis belum pernah disampaikan KPK kepada tersangka lain. Ini menandakan ada perlakuan dan sikap berbeda dari KPK terhadap Lukas,” kata dia.
HENDRIK KHOIRUL MUHID
Baca: Wakil Ketua KPK Sebut Penyidikan Kasus Lukas Enembe Bisa Dihentikan, Jika...., Kok Bisa?
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.