TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi mengoreksi satu nama tersangka di kasus suap Hakim Agung Sudrajad Dimyati. Nama tersngak itu adalah Pegawai Negeri Sipil Mahkmah Agung (MA). Nama itu direvisi menjadi Nurmanto Akmal dengan jabatan PNS MA.
"Salah satu nama kemarin berinisial RM (Redi) seharusnya berinisial NA, yaitu itu ASN pada MA," kata pelaksana tugas (Plt) juru bicara bidang pencegahan KPK Ipi Maryati di kantornya, Jakarta, Jumat, 23 September 2022.
Uang suap Rp 2,2 miliar
Kasus suap di Mahkamah Agung tersebut, terbongkar lewat operasi tangkap tangan yang digelar oleh KPK pada Rabu dan Kamis kemarin. Dalam kasus itu, KPK menangkap delapan orang. Dalam penangkapan itu, penyidik juga menyita uang sebanyak 205 ribu dolar Singapura dan Rp 50 juta atau total sekitar Rp 2,2 miliar.
Uang itu diduga untuk mengurus perkara kasasi pailit Koperasi Simpan Pinjam Intidana. Dari uang itu, KPK menduga Dimyati menerima Rp 800 juta. Sisanya dibagi-bagi kepada lima tersangka penerima suap lainnya. Suap diberikan agar Dimyati memutuskan bahwa koperasi itu bangkrut.
KPK tetapkan 10 tersangka, 8 sudah ditahan
Sebagai penerima suap, KPK menetapkan enam tersangka. Di antaranya Hakim Agung Sudrajad Dimyati; Hakim Yudisial atau panitera pengganti Elly Tri Pangestu; PNS pada Kepaniteraan MA Desy Yustria; dan dua PNS MA, yakni Nurmanto Akmal yang sebelumnya disebut Redi, serta Muhajir Habibie.
Sementara, sebagai pemberi suap KPK menetapkan 4 tersangka. Di antaranya, dua pengacara bernama Yosep Parera dan Eko Suparno; serta Debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana Heryanto Tanaka dan Debitur Koperasi Simpan Pinjam Ivan Dwi Kusuma Sujanto.
Dari 10 tersangka tersebut, 8 orang sudah ditahan termasuk Dimyati. Sementara dua orang belum ditahan adalah Ivan dan Heryanto. Dimyati mendatangi KPK pada Jumat kemarin setelah namanya diumumkan sebagai tersangka.
Kasus kepailitan Koperasi Simpan Pinjam Intidana ini sendiri telah diputus oleh Mahkamah Agung. Sudrajad Dimyati yang menjadi hakim ketua dalam perkara itu menyatakan koperasi yang beroperasi di Jawa Tengah tersebut pailit. Padahal dalam tingkat pertama dan kedua, gugatan yang diajukan oleh Ivan dan Heryanto itu ditolak.