TEMPO.CO, Jakarta - Ketua umum PDIP Megawati Soekarnoputri menginginkan agar nomor urut Pemilu 2024 tak perlu diundi lagi. Alasannya untuk menghemat anggaran partai.
Menanggapi itu, Peneliti ahli utama Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN Siti Zuhro justru menginginkan nomor urut partai di Pemilu 2024 ditata ulang. Hal ini wajar dilakukan karena ada partai baru yang ikut pemilihan umum.
Siti menjelaskan, bahwa posisi partai politik seperti duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Dia menyampaikan adanya nomor urut partai politik menempatkan semua partai dalam kedudukan yang sama dan dilindungi oleh Undang-undang serta konstitusi.
"Kalau menurut saya, demokrasi itu kemewahannya duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Peraturan itu juga berlaku sama dan di hadapan hukum itu juga sama. Bukan ada ini istimewa dan ini yang tidak istimewa," kata Siti saat dihubungi pada, Rabu, 21 September 2022.
Lebih lanjut ia menuturkan, bahwa partai politik lain tidak menginginkan adanya angka besar dalam urutan partai politik. Menurut Siti, nomor urut harus diundi secara adil dan tidak menyebabkan protes ketidakadilan.
"Oleh karena itu, perkara nanti mendapatkan nomor-nomor yang tidak sexy ya itukan bisa dicarikan cara agar bisa betul-betul disesuaikan," kata dia.
Pemilu Era Digital
Ia menambahkan, setiap partai politik bisa melakukan cara dengan rekayasa angka besar dalam urutan pemilu. Sehingga, partai mampu mengantisipasi jika mendapatkan nomor urut besar untuk melakukan ketertarikan pemilih dalam kampanye era digital.
"Ini eranya sudah harus kreatif. Jangan berpikir analog. Ini sudah era digital. Berpikirnya jangan jadul lagi. Apapun bisa direka-reka, dibentuk menjadi semedikian rupa, menjadi sangat menawan, menimbulkan antusiasme. Kalau menurut saya ya itu kompetisi kreativitas antar partai," tutur Siti.
Meskipun demikian, adanya asumsi soal keberuntungan mendapatkan angka kecil dalam nomor urut pemilu merupakan suatu hal yang wajar. Namun, tidak menutup kemungkinan jika partai politik mendapatkan angka besar bisa saja menang. Itu bisa terjadi karena memang pemilih sudah tertarik dengan hasil kinerja partai tersebut.
"Jadi bukan karena dia dikasih nomor satu tentu saja bisa menjadi nomor satu. Menurut saya juga bukan nomor itu yang membawa hoki. Tetapi dari hasil kinerja partai secara bertahun-tahun itu seperti apa, ketika pemilu dia bisa memetik hasilnya. Karena memang demokrasi mengajarkan logika dan bernalar," kata Siti.
Selanjutnya, Siti menjelaskan setiap pemilu memiliki ciri khas masing-masing dalam memperkenalkan puaknya kepada masyarakat. Adanya konteks simbol partai politik juga akan berbeda dari Pemilu 2019. Sehingga, pada Pemilu 2024 yang merupakan era digital, setiap partai politik harus lebih kreatif dan inovatif untuk memikat pemilih.
"Konteks sekarang itu era digital. Justru partai-partai itu diminta untuk adaptif dan lincah. Bagaimana merespons era digital yang seperti ini dan sebagainya," katanya.
Menurut dia, perilaku pemilih di era digital sudah berubah. Siti menyampaikan pemetaan usia pemilih sebesar 60 persen yang menghasilkan rata-rata berada di bawah umur 40 tahun atau kaum milenial. Lebih lanjut, jika PDI-perjuangan atau PDIP memiliki pendukung tradisional maka harus memiliki cara lain untuk berkampanye di era tradisionalnya.
"Dia juga harus memiliki cara untuk berkampanye di era milenial atau muda. Dan itu gunanya partai-partai harus berinovasi," ujarnya.
Baca juga: Inilah Daftar Anggota Dewan Kolonel yang Dukung Puan Maharani Maju Jadi Capres 2024
Muh Raihan Muzakki