TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyatakan Surat Edaran yang diberikan kepada penjabat kepala daerah dipantik dari keluhan Direktorat Jenderal Otonomi Daerah yang mulai kewalahan. Pasalnya, dalam beberapa hal kepegawaian, penjabat memerlukan persetujuan dari Kementerian Dalam Negeri.
Tito menerbitkan surat edaran kepada Pj kepala daerah yang membolehkan memutasi maupun memberhentikan pejabat atau aparatur sipil negara (ASN) tanpa persetujuan Kemendagri. SE ini diterbitkan pada Rabu, 14 September 2022 lalu.
“Semenjak adanya 6 kepala daerah Gubernur dan 68 Pj Bupati Wali Kota, jadi 76 sekarang. Ini Otda mulai teriak-teriak, mengeluh, karena banyak sekali. Kan (Pj) tidak boleh mutasi pegawai, ada beberapa persetujuan yang perlu diminta ke Mendagri,” kata Tito dalam Rapat Kerja bersama Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Rabu, 21 September 2022.
Menurutnya, birokrasi tersebut bisa disederhanakan. Dia menyebut Pj dapat menandatangani surat pemberhentian sementara pada pejabat Aparatur Sipil Negara (ASN) yang terkena pidana dan diputuskan dalam sidang pelanggaran disiplin. “Itu pun 7 hari kemudian harus lapor ke Kemendagri dan saya bisa meralat,” kata dia.
Adapun ihwal kewenangan mutasi, Tito menjelaskan ketika pejabat ASN sudah terkena masalah hukum dan sudah ditahan mestinya segera diberhentikan. Aturan sebelumnya yang menyebut perlu izin tertulis dari Kemendagri, kata Tito, bakal membuat proses lebih panjang.
“Nanti kalau 270 daerah yang numpuk di Otda, akan jauh lebih banyak lagi. Ini baru 74, kalau 270 berarti berarti 3 kali lipat numpuknya. Sehingga yang bisa disimpelkan, disimpelkan. Jadi masalah teknis saja,” ujarnya.
Efisiensi Pelayanan
Tito menampik tudingan jika Kemendagri memberikan kewenangan penuh terhadap Pj untuk memberhentikan dan memutasi ASN. Dia menyatakan SE ini merupakan bentuk efisiensi agar pelayanan lebih fleksibe dan lincah. Menurutnya, SE ini juga tidak bertentangan dengan Undang-Undang.
“Kalau ada Pj yang sewenang-wenang, kami perketat. Tiga bulan sekali mereka berikan pertanggung jawaban. Kemudian sistem pengawasan juga, ini Surat Keputusan (SK) mereka hanya satu tahan, bisa diperpanjang dengan orang yang sama atau beda. Kalau sewenang-wenang bisa diganti,” kata Tito.
Dia menyatakan masyarakat tidak perlu khawatir terhadap potensi politisasi karena kewenangan Pj diatur dalam SE. Sebab, kata dia, kewenangan Pj hanya sebatas memberhentikan dan memutasi ASN. “Kewenangannya hanya ada 2. Menandatangani yang sudah berhadapan dengan masalah hukum dan harus diberhentikan,” ujarnya.
Adapun Wakil Ketua Komisi II DPR, Saan Mustopa, meminta Tito segera mencabut SE. Sebab, ia menilai ada potensi penyalahgunaan dari Pj Kepala Daerah dengan kewenangan yang tertuang dalam SE. Menurutnya, birokrasi yang dinilai ribet bertujuan untuk menghindari tindakan sewenang-wenang.
“Nah kalau diberikan ruang melalui SE ini, sama juga memberikan legitimasi ke dia (Pj) untuk hal-hal yang berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan politiknya, akan bertindak sewenang-wenang juga terhadap ASN karena tidak perlu izin tertulis. Dan surat edaran ini banyak bertentangan dengan Undang-Undang,” kata Saan.
Ia menilai Kemendagri perlu berdiskusi dengan DPR apakah SE akan dicabut atau direvisi. Namun, secara pribadi Saan meminta agar SE Kemendagri dicabut. “Saya mengusulkan SE dicabut. Karena nanti rawan interpretasi, bukan hanya oleh Pj, tapi juga rawan interpretasi di publik. Ini penting,” kata dia.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.