INFO NASIONAL -- Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini merupakan peninggalan kolonial Belanda, yang disusun jauh sebelum Indonesia merdeka. Sehingga, menurut Wakil Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Karjono diperlukan pembaharuan.
Rancangan KUHP, kata dia, juga memerlukan adanya tranparansi dan keterbukaan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, demi mewujudkan peraturan perundang-undangan yang baik dan berlegitimasi.
“Maka seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan,” ujar dia saat membuka Acara Dialog Publik RUU KUHP, yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham, bersama Menko Polhukam, BPIP, Badan Intelejen Negara (BIN), Kominfo, POLRI, Kejaksaan Agung, Kementerian Agama, Kominfo, Akademisi dan Praktisi di Pontianak Kalimantan Barat, Selasa 20 September 2022.
Karjono menuturkan, RUU KUHP merupakan penal code nasional yang disusun sebagai sebuah simbol peradaban suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat. Sehingga seyogyanya dibangun dan dibentuk dengan mengedepankan prinsip nasionalisme dan mengapresiasi seluruh partisipasi masyarakat. Oleh karena itu, perbedaan pemahamaan dan pendapat dalam diskusi pengaturan RUU KUHP tentunya merupakan kontribusi yang positif yang perlu disikapi.
"Dengan melakukan diskusi yang komprehensif dan menyeluruh dari seluruh elemen masyarakat seperti, aparat penegak hukum, praktisi, akademisi, organisasi masyarakat, organisasi mahasiswa, tokoh masyarakat, tokoh agama agar dalam implementasi dan aplikasi dari pelaksanaanya RUU KUHP dapat dilaksanakan sesuai dengan kaedah hukum, asas hukum pidana, prinsip, dan tujuan pembaharuan hukum pidana," ujar Wakil Kepala BPIP.
Menurutnya, tidaklah mudah bagi negara yang sangat multikultur dan multietnis untuk membuat kodifikasi hukum pidana yang bisa mengakomodasi berbagai kepentingan. Jangka waktu yang panjang ini juga mengakibatkan bergantinya akademisi maupun praktisi yang duduk dalam tim pembentukan RUU KUHP.
Pemerintah harus terus berkoordinasi dan berkomunikasi dengan kementerian, lembaga, organisasi, masyarakat, organisasi profesi, praktisi, akademisi, dan pakar sesuai dengan bidang keahliannya untuk terus menyempurnakan RUU KUHP supaya tetap sesuai dengan kaedah hukum, asas hukum pidana, prinsip, dan tujuan pembaruan hukum pidana. Oleh karena itu, kerjasama dan komunikasi yang baik antara Pemerintah, DPR RI dan seluruh elemen masyarakat harus terjalin kuat untuk mewujudkan KUHP Nasional yang baru.
Plt. Direktur Jenderal Perancangan Peraturan Perundang Undangan Dr. Dahana Putra, menyampaikan sejarah jalannya KUHP dan isue RUU KUHP antara lain Hukum yang hidup dalam masyarakat, Pidana Mati, Penyerangan Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden, Pernyataan memiliki Keluatan Goib, penodaan agama. Penyerangan Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden merupakan deleg aduan yang diadukan oleh Bapak Presiden atau Wuhakil Presiden.
Perubahan hukuman mati menjadi hukuman penjara ditetapkan oleh Presiden, setelah mendapat pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung, dan diusulkan oleh Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia. Juga seandainya Undang-Undang ini disahkan masih butuh waktu 2 tahun untuk menindak lanjuti aturan pelaksanaannya.
Surahno Kepala Biro Hukum dan Organisasi BPIP menambahkan, Refleksi Nilai Pancasila dalam KUHP, artinya nilai yang ada dalam masyarakat juga terimplikasi atau diatur dalam KUHP. Menyelesaikan konflik dengan Musyawarah mufakat, mendasarkan pada nilai Pancasila.