TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Staf Presiden Moeldoko menanggapi polemik yang terjadi antara Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Dudung Abdurachman dan anggota Komisi Pertahanan DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Effendi Simbolon. Mantan Panglima 2013-2015 itu tidak sepakat anggapan perintah Dudung ke prajuritnya untuk merespons Effendi dianggap mengancam supremasi sipil.
"Memangnya kalau supremasi sipil enggak menghargai institusi lain apa? Kan tetap," kata dia saat ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin, 19 September 2022.
Sebelumnya, cuplikan rekaman rapat berisi perintah dari Dudung Abdurachman tersebar. Dalam rekaman berdurasi 2.51 menit tersebut, Dudung memberi perintah agar prajurit TNI AD bergerak untuk merespons pernyataan anggota Komisi Pertahanan DPR Effendi Simbolon yang menyebut TNI seperti gerombolan dan ormas.
"Silahkan kalian tergerak," kata Dudung dalam rekaman tersebut, Rabu, 14 September 2022. "Berdayakan itu FKPPI dan segala macam, untuk tidak menerima penyampaian Effendi Simbolon."
FKPPI tak lain adalah Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI-Polri (FKPPI). "Masif lakukan, engga usah ada yang takut, engga usah takut kalian dicopot dan segala macam, saya yang tanggung jawab," ujar Dudung.
Belakangan Effendi meminta maaf atas pernyataannya tersebut. Akan tetapi, perintah Dudung ini dikritik oleh penggiat demokrasi. Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai tindakan Dudung dan bawahannya tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun.
Pengerahan prajurit untuk menentang pernyataan Effendi menyalahi prinsip demokrasi dan negara hukum yang semestinya ditegakkan di Indonesia. "Tindakan tersebut merupakan bentuk pembangkangan terhadap otoritas sipil. Cermin dari tentara berpolitik, tidak menghormati supremasi sipil, dan bukan tentara profesional," kata dia.
Moeldoko menilai pada intinya semua pihak harus saling menghormati institusi lainnya. Ia juga menilai tidak perlu lagi memperdebatkan antara sipil dan militer, karena bukan zamannya lagi. "Kami sudah mendudukkan tentara pada posisi, yang menurut saya waktu saya menjadi Panglima TNI, pada posisi yang pas," kata dia.
Moeldoko pun menilai perintah Dudung dalam rekaman yang tersebar hanya reaksi spontan atas pernyataan Effendi. "Begitu Pak Effendi Simbolon minta maaf, kan semuanya sudah cairlah," ujarnya.
Tapi Moeldoko belum menanggapi lebih jauh apakah ada rencana Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk memanggil Dudung atas polemik yang terjadi ini. "Saya pikir itu sudah tahu masing-masing harus bagaimana," kata dia.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.