TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Muhammadiyah menyuarakan dukungan penghapusan ambang batas pencalonan presiden atau ambang batas presiden sebagai antisipasi solusi kepada para pemangku kepentingan untuk mencegah terjadinya polarisasi pada Pemilu 2024.
"LHKP Muhammadiyah mendukung penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan mendesak partai politik untuk memberikan pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang lebih beragam, serta tidak menimbulkan benturan di masyarakat melalui antitesis dua pasangan calon, seperti halnya Pemilu 2014 dan Pemilu 2019," kata Ketua LHKP Muhammadiyah Agus HS Reksoprodjo dalam keterangan tertulisnya, Minggu 18 September 2022.
Menurut Agus, pesta demokrasi Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 semakin menghangat disertai berbagai manuver politik dan menyebarkan pengaruh peserta pemilu melalui media informasi. Salah satunya wacana pencalonan presiden lebih dari dua periode. Wacana tersebut, kata dia, tidak sehat bagi demokrasi yang menjadi amanah reformasi serta semangat pembatasan kekuasaan (konstitusionalisme) yang ditegaskan dalam konstitusi.
“Oleh karena itu, wacana tersebut harus tegas dihentikan,” katanya.
Kemudian, soal polarisasi politik, Agus berpendapat hal itu lahir sebagai dampak dari taktik politik elektoral yang cenderung membelah dan tidak merangkul kesatuan, sehingga terjadinya kutub-kutub masyarakat yang tidak kondusif di negara yang berlandaskan kesatuan dalam keberagaman.
Ia mengatakan penyebab polarisasi terindikasi akibat sistem salah kaprah ambang batas pencalonan presiden (presidential nomination threshold) yang mengantarkan pada praktik politik transaksional-oligarki serta menutup kesempatan masyarakat luas untuk menjadi kandidat secara adil dan setara.
“Sudah semestinya semua pihak bersepakat untuk memberikan kesempatan yang adil bagi rakyat bisa mendapat banyak pilihan dan terhindar dari politik pecah belah, teror ataupun rasa takut,” katanya pula.
Agus menambahkan, bila polarisasi terus berlanjut, maka bangsa Indonesia akan mengalami demokrasi politik yang stagnan, involutif, dan mengalami kemunduran.
Penghapusan ambang batas pencalonan presiden pernah digugat Rizal Ramli dan PBB
Penghapusan ambang batas pencalonan presiden pernah digugat oleh Rizal Ramli ke Mahkamah Konstutusi. Dalam gugatannya, Rizal menyebut ambang batas ini menghilangkan hak konstitusional sejumlah partai politik yang ingin mengusung calon presiden. MK menolak gugatan itu.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat, mengatakan Rizal tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan soal ambang batas presiden ini.
Dalam pertimbangan hukum, Mahkamah Konstitusi menyatakan sesuai Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum.
Sesuai pasal tersebut, pengusulan pasangan calon tidak ditentukan oleh kehendak perseorangan. Sehingga subjek hukum yang mempunyai hak konstitusional dan memiliki kedudukan kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan itu adalah partai politik atau gabungan partai politik.
Selain Rizal, ambang batas pencalonan presiden tersebut juga pernah digugat Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Partai Bulan Bintang (PBB). Namun lagi - lagi MK menolaknya.
“Menyatakan permohonan Pemohon I tidak dapat diterima, dan menolak permohonan Pemohon II untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan perkara Nomor 52/PUU-XX/2022 yang disiarkan MK secara virtual di Jakarta, Kamis 7 Juli 2022.