TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Purwanirawan Agus Supriatna belum memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus korupsi heli AW-101. Pengacara Agus, Pahrozi, mengatakan alasan kliennya tak memenuhi panggilan tersebut karena bertentangan dengan undang-undang.
Dia mengatakan KPK tak bisa langsung memanggil Agus mengigat status kliennya sebagai mantan prajurit TNI.
“Klien kami tidak dapat memenuhi panggilan KPK karena panggilan tersebut bertentangan dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku,” kata Pahrozi lewat keterangan tertulis, Senin, 12 September 2022.
Pahrozi mengatakan aturan yang dimaksud adalah Pasal 103 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, juncto Pasal 30 Peraturan Panglima Nomor 56 Tahun 2020 tentang atas yang berhak menghukum. Menurut dia, berdasarkan aturan itu surat KPK yang memanggil secara langsung kepada kliennya bertentangan dengan hukum.
KPK memanggil Agus Supriatna dan mantan Asisten Perencanaan (Asrena) Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Muda (Purn) Supriyanto Basuki untuk menjalani pemeriksaan pada Kamis, 8 September 2022. Keduanya tidak hadir.
Juru bicara KPK Ali Fikri mengatakan KPK akan segera mengirimkan surat panggilan lagi. Dia mengimbau agar Agus dan Supriyanto dapat hadir pada panggilan kedua tersebut.
“Keterangan kedua saksi ini dibutuhkan dalam proses penyidikan, sehingga menjadi lebih jelasnya perbuatan tersangka,” kata Ali, 9 September 2022.
Dalam perkara ini, KPK menetapkan Irfan Kurnia Saleh alisa John Irfan Kenway menjadi tersangka. Dia merupakan Direktur PT Diratama Jaya Mandiri yang menjadi tersangka tunggal kasus tersebut. Sebelumnya, sejumlah prajurit TNI AU turut menjadi tersangka di kasus ini. Namun, pihak TNI menghentikan penyidikan dengan alasan kekurangan alat bukti.
KPK telah menahan Irfan pada 24 Mei 2022. Kasus ini bermula pada Mei 2015 ketika Irfan dan pegawai perusahaan AgustaWestland Lorenzo Pariani bertemu Mohammad Syafei yang saat itu menjabat Asisten Perencanaan dan Anggaran TNI Angkatan Udara di wilayah Cilangkap, Jakarta Timur.
Pertemuan itu membahas pengadaan helikopter AW 101 VIP atau VVIP TNI AU. Irfan selaku agen AW diduga memberikan proposal pada Syafei dengan mematok harga US$ 56,4 juta per unit helikopter. Padahal antara Irfan dengan pihak AW, telah disepakati harga per unitnya, yaitu US$ 39,3 juta atau Rp 514 miliar.
Sempat tertunda, rencana pengadaan helikopter ini berlanjut pada 2016 dengan nilai kontrak Rp 738 miliar. TNI AU saat itu mengubah peruntukan helikopter tersebut dari sebelumnya untuk mengangkut presiden menjadi untuk mengangkut barang.
Lelang pengadaan hanya diikuti oleh 2 perusahaan, salah satunya milik Irfan. Dalam tahapan lelang, diduga panitia tetap melibatkan dan mempercayakan Irfan untuk menghitung Harga Perkiraan Sendiri.
KPK menduga Irfan aktif melakukan komunikasi dan melakukan pembahasan secara khusus dengan Pejabat Pembuat Komitmen proyek ini, Fachri Adamy. KPK menengarai proses lelang telah diakali, sehingga perusahaan Irfan bisa menjadi pemenang .
KPK juga menyangka Irfan Kurnia Saleh sudah mendapatkan bayaran 100 persen, padahal belum menyelesaikan beberapa item pekerjaan. Selain itu, beberapa item pekerjaan diduga tidak sesuai spesifikasi seperti tidak dipasangnya pintu kargo dan jumlah kursi yang berbeda. Akibat korupsi heli AW-101 ini, negara rugi Rp 224 miliar.