TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, menilai pemilihan presiden atau Pilpres 2024 mendatang hendaknya diikuti oleh lebih dari dua poros koalisi. Menurutnya, politisi perlu belajar dari fakta masa lalu jika head to head dalam pilpres mengakibatkan publik terbelah.
“Lukanya cukup menganga dan lebar, puncak dari keterbelahan itu kita bisa menyaksikan bagaimana pengeroyokan terhadap Ade Armando. Selama ini elite mengatakan seolah-olah tidak terjadi apa-apa, ternyata keterbelahan itu ada dan nyata terjadi di tengah masyarakat,” kata Pangi dalam keterangannya, Kamis, 8 September 2022.
Menurutnya, tidak boleh ada tempat maupun ruang untuk membuka kotak pandora politik identitas dengan polarisasi isu. Setidaknya, kata dia, ada sejumlah cara yang dapat dilakukan untuk meredam politik identitas dan polarisasi ini.
Pangi mengatakan sedikitnya mesti ada 3 calon presiden (capres) yang. berlaga dalam Pilpres 2024. Sehingga, gelombang polarisasi dapat terpecah dan tidak ada lagi kontestasi rematch pilpres.
Dia turut menilai harus ada penegakan hukum yang adil tanpa diskriminatif terhadap para buzzer politik, tim sukses, relawan, maupun calon presiden apabila terbukti menggoreng politik identitas. Belajar dari pengalaman sebelumnya, politik identitas kerap kali dijadikan komoditas politik untuk meraup suara konstituen.
“Mesti ada sanksi yang keras dan tegas berupa pidana dan pemotongan masa waktu kampanye agar ada efek jera,” ujarnya.
Berdasarkan data survei Voxpol Research and Consulting pada Juli 2022, sebanyak 40,6 persen masyarakat menginginkan Pilpres 2024 diikuti lebih dari dua pasang capres. Ketika ditanya alasannya, sebanyak 41,9 persen menjawab agar rakyat mendapatkan pemimpin alternatif.
Sementara itu, sebanyak 41,1 persen menjawab agar tidak terjadi konflik sosial dan perpecahaan. Sisanya ingin memberi kesempatan pada pemimpin muda dan berharap tidak terjadi eksploitasi politik identitas.