INFO NASIONAL – Pencegahan stunting telah menjadi program prioritas pemerintah. Namun angka stunting masih cukup tinggi. Berdasarkan data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2021, prevalensi stunting saat ini masih berada pada angka 24,4 persen atau 5,33 juta balita. Presiden Joko Widodo menargetkan angkat tersebut turun menjadi 14 persen pada 2024.
Diperlukan kerja keras dan kerja sama semua pihak untuk mencapai target Presiden. Terlebih, menghilangkan stunting merupakan salah satu syarat mencapai generasi emas di 2045.
"Saat ini kita sebenarnya berada pada situasi darurat gizi dengan angka stunting yang cukup tinggi. Bagaimana kita harus memperbaiki kondisi ini untuk menciptakan masyarakat yang baik secara jasmani dan rohani, ini merupakan tantangan yang harus kita jawab bersama," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema “Problem Gizi dan Pengelolaan Makanan” yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu, 7 September 2022.
Karena itu, seluruh pihak harus mampu merealisasikan percepatan pencegahan stunting yang konvergen, baik pada perencanaan, pelaksanaan, termasuk pemantauan dan evaluasinya di berbagai tingkat pemerintahan, termasuk desa.
"Sudahkah kita mengidentifikasi gap yang ada dan langkah apa yang sudah kita lakukan untuk memenuhi target yang telah ditetapkan?" ujar Rerie—Lestari biasa disapa. Tantangan tersebut tidak boleh diabaikan agar setiap keluarga mampu melahirkan generasi penerus yang sehat.
Selain itu upaya untuk mendorong pemenuhan gizi masyarakat, jelas Rerie, juga merupakan bagian dari langkah dalam percepatan pemulihan ekonomi, lewat perhatian terhadap pola konsumsi makanan sehat bagi para tenaga kerja.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2018, tambahnya, prevalensi obesitas di kalangan orang dewasa Indonesia meningkat hampir dua kali lipat, dari 19,1 persen pada 2007 menjadi 35,4 persen pada 2018.
Karena itu, tegas Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu, mencegah stunting dan obesitas harus menjadi tugas bersama dalam upaya peningkatan SDM berkualitas dan berdaya saing untuk mewujudkan generasi unggul pada Indonesia Emas 2045.
Pelaksana Tugas Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak- Kemenkes RI, Ni Made Diah Permata Laksmi mengakui kondisi gizi balita di Indonesia memang masih menunjukkan perkembangan yang kurang menggembirakan. Penyebabnya antara lain asupan gizi, kualitas dan keanekaragaman pangan yang belum memadai hampir di seluruh Indonesia.
Di satu sisi terjadi kekurangan asupan makanan, di sisi sebaliknya ada pula ancaman obesitas karena pola makan tidak diimbangi aktivitas fisik yang memadai lewat perubahan gaya hidup. Konsumsi yang tidak memenuhi gizi seimbang, ujar NI Made Diah, juga menciptakan risiko mudah terkena penyakit sehingga sangat diperlukan ketersediaan pangan yang cukup.
Kondisi pascapandemi yang berdampak pada perekonomian keluarga, jelasnya, sangat mempengaruhi upaya pemenuhan gizi berimbang. Saat ini, Kementerian Kesehatan sedang mengupayakan transformasi kesehatan lewat transformasi layanan kesehatan primer, edukasi dan skrining kesehatan. Intervensi gizi seimbang, tambahnya, harus dilakukan sejak Ibu hamil untuk menghindari ancaman anemia yang bisa berdampak pada pertumbuhan bayi.
Deputi Bid Pelatihan, Penelitian dan Pengembangan BKKBN, Muhammad Rizal Damanik berpendapat kecukupan gizi merupakan salah satu isu kesehatan yang dihadapi Indonesia. Hal-hal dasar yang menyebabkan terjadinya kekurangan gizi antara lain budaya sarapan yang kurang memadai dan kurang beragamnya makanan yang dikonsumsi. Bahkan, Muhammad Rizal melanjutkan, diperkirakan pada 2029 satu dari dua orang di Indonesia akan menghadapi obesitas.
Dalam upaya percepatan pencapaian target penurunan angka stunting, BKKBN menerjunkan Tim Pendamping Keluarga di desa-desa di tanah air.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Annis Catur Adi berpendapat masih banyaknya pemahaman yang salah terkait pemenuhan gizi di lingkungan keluarga Indonesia menjadi salah satu faktor pendorong masalah kesehatan masyarakat.
Stunting, jelasnya, merupakan masalah serius dan genting, karena tidak hanya pengaruhi kondisi fisik, namun juga pada perkembangan otak dan organ lainnya yang rawan memicu penyakit terhadap anak dan balita. Karena itu, intervensi asupan gizi pada usia bayi masih di dalam kandungan hingga dua tahun merupakan langkah penting.
Menurut Direktur The Global Alliance for Improved Nutrition (GAIN) Indonesia, Agnes A. Mallipu, Indonesia perlu membuat perubahan sistem pangan di Indonesia. Hal ini dilakukan mulai dari tahap storage, processing hingga konsumsi dengan meningkatkan kesadaran akan pentingnya gizi.
Selain pembicara di atas, diskusi ini juga menghadirkan Prof. Dr. Ir Annis Catur Adi M.Si (Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga), dan Agnes A. Mallipu (Direktur The Global Alliance for Improved Nutrition /GAIN Indonesia) sebagai narasumber. Sementara penanggap yakni Felly Estelita Runtuwene (Ketua Komisi IX DPR RI), Amelia Anggraini (Ketua Bidang Perempuan dan Anak DPP Partai NasDem), dan Dyah Puspitorini (Ketua Umum Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah 2016-2020). (*)