TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Alexander Marwata khawatir dengan banyaknya narapidana korupsi yang mendapatkan remisi dan bebas bersyarat. Dia mengatakan lembaganya tengah memikirkan cara agar koruptor tak lagi mudah mendapatkan kemewahan tersebut.
“Bagaimana bisa menimbulkan efek jera?” kata dia di kantornya Jakarta, Selasa, 6 September 2022.
Alex mengatakan mudahnya koruptor mendapatkan remisi dan bebas bersyarat tak terlepas dari dibatalkannya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 oleh Mahkamah Agung pada Januari 2022. Aturan itu dikenal dengan PP pengetatan remisi koruptor.
Menurut Alex, saat PP itu masih berlaku, pihak Kementerian Hukum dan HAM harus meminta rekomendasi dari KPK untuk memberikan hak kepada narapidana korupsi yang kasusnya ditangani lembaga antirasuah. Hak narapidana yang dimaksud Alex meliputi remisi dan bebas bersyarat. “Sekarang sepenuhnya kewenangan kementerian,” tutur dia.
Alex berkata KPK tengah mencari solusi agar pemberian hak kepada koruptor itu bisa dibatasi. Terutama, untuk koruptor yang tidak kooperatif selama proses hukum. Salah satu cara yang bisa ditempuh, kata Alex, adalah KPK dapat membuat tuntutan di proses persidangan agar sejumlah hak terdakwa bisa dicabut.
Dia mengatakan saat di pengadilan, nantinya KPK dapat mengajukan tuntutan agar hakim mencabut hak para koruptor menerima remisi atau pembebasan bersyarat. “Siapa yang mencabut? Hakim. Atas apa? Atas tuntutan dari jaksa penuntut umum,” ujar mantan hakim Tipikor tersebut.
Alex menyampaikan rencana KPK itu untuk menanggapi banyaknya napi korupsi yang mendapatkan bebas bersyarat. Sejumlah napi korupsi yang bebas bersyarat hari ini di antaranya, mantan Gubernur Jambi Zumi Zola; mantan hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar; mantan Menteri Agama Suryadharma Ali; mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah; dan mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.