INFO NASIONAL - Ketua MPR yang juga kandidat doktor studi Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Bambang Soesatyo, kembali mempublikasikan artikel risetnya berjudul “The Principles of State Guidelines as the Legal Basis and Legal Politics for Sustainable Development in Facing the Industrial Revolution 5.0”, yang dimuat dalam jurnal internasional terindex Scopus, NeuroQuantology, edisi August 2022, Volume 20, Issue 9, Page 723-733, di Turki.
Sebelumnya, hasil riset ilmiah Bamsoet yang berjudul “The Urgency of the Staples of State Policy As a Legal Umbrella For The Sustainable Development Implementation to Face The Industrial Revolution 5.0” telah dipublikasikan dan dimuat di jurnal internasional terindex Scopus Central Asia and The Caucasus Journal, Vol 23 Issue 1 2022, English Edition, di Swedia.
Publik bisa membaca artikel riset yang terbit di Jurnal Internasional terindex Scopus di Turki tersebut dengan mengklik tautan https://www.neuroquantology.com/article.php?id=5950. Untuk hasil riset ilmiah yang telah dipublikasikan sebelumnya oleh kandidat Doktor Bamsoet, dapat diklik di Jurnal Internasional terindex Scopus di Swedia dengan tautan https://ca-c.org/submissions/index.php/cac/article/view/121/55
Bamsoet menjelaskan, hasil riset tersebut merupakan salah satu syarat menyelesaikan pendidikan Doktor di studi Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran. Selain itu, dapat digunakan publik untuk memperluas khazanah pemikiran tentang urgensi menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai payung hukum pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di Indonesia dalam menghadapi Revolusi Industri 5.0.
“Publik bisa membaca dan mengkritisinya, sehingga ruang dialog semakin terbuka yang pada akhirnya akan semakin mempertajam pengetahuan tentang urgensi menghadirkan PPHN," ujar Bamsoet di Jakarta, Selasa, 6 September 2022.
Dalam artikel riset tersebut, Bamsoet menjelaskan pentingnya kehadiran PPHN berangkat dari sebuah kebutuhan akan hadirnya prinsip-prinsip yang bersifat direktif yang bisa menjabarkan prinsip-prinsip normatif dalam konstitusi menjadi kebijakan dasar politik negara, sebagai panduan atau pedoman bagi penyelenggaraan pembangunan nasional.
"Saya juga mengulas bahwa setelah MPR RI tidak lagi memiliki wewenang menetapkan GBHN sebagai Haluan Negara, fungsi GBHN digantikan dengan UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dan UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005 – 2025,” kata Bamsoet.
“Dalam implementasinya, berbagai peraturan perundang-undangan yang menjadi rujukan penyelenggaraan pembangunan nasional tersebut ternyata menyisakan berbagai persoalan.”
Adapun persoalan yang dihadapi bangsa ini antara lain timbulnya kecenderungan eksekutif sentris, dan adanya potensi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional RPJPN dilaksanakan secara tidak konsisten dalam setiap periode pemerintahan. Selain itu, karena Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) didasarkan kepada visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden terpilih, maka berpotensi memunculkan visi dan misi yang berbeda dalam setiap periode pemerintahan.
"Ada juga potensi ketidakselarasan pembangunan antara RPJMN dengan perencanaan pembangunan daerah (RPJMD), mengingat visi dan misi Kepala Daerah sangat mungkin berbeda dengan visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Tidak hanya itu, desentralisasi dan penguatan otonomi daerah juga berpotensi mengakibatkan tidak sinerginya perencanaan pembangunan antar daerah, serta antara pusat dan daerah," tutur Bamsoet.
Inkonsistensi ini, kata Bamsoet, berpotensi menghasilkan program pembangunan yang tidak saling mendukung, bahkan saling menegasikan satu sama lain. Masalah ini berpotensi menimbulkan inefisiensi atau pemborosan anggaran.
Karena itu, sangat penting bagi Indonesia memiliki PPHN. Mengenai kedudukan hukumnya, PPHN sebagai sebuah haluan negara harus mempunyai legal standing yang kuat, namun sekaligus tidak kaku. Bentuk hukum yang dinilai paling ideal adalah Ketetapan MPR yang secara hirarki berada di bawah Undang-Undang Dasar dan di atas undang-undang.
"PPHN tidak tepat diatur secara langsung dalam Konstitusi, karena mekanisme perubahannya akan sulit dilakukan, sedangkan PPHN adalah produk kebijakan yang berlaku periodik, dan disusun berdasarkan dinamika kehidupan masyarakat yang terus berkembang. Tidak bisa juga diatur dalam Undang-Undang karena rawan 'ditorpedo' oleh Perppu maupun di judicial review ke Mahkamah Konstitusi," kata Bamsoet. (*)