TEMPO.CO, Jakarta - Komite Nasional Pembaruan Agraria dan Gerakan Buruh Bersama Rakyat meminta Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Redeb, Berau, Kalimantan Timur memvonis bebas masyarakat adat Dayak Marjun dalam perkara sengketa lahan. Mereka menganggap masyarakat adat itu merupakan korban kriminalisasi dari konflik agrarian dengan perusahaan perkebunan.
“Bebaskan Masyarakat Adat Dayak Marjun yang memperjuangkan hak atas tanah ulayat dan lingkungan hidupnya,” kata perwakilan KNPA, Benni Wijaya dalam keterangan tertulis, Senin, 5 September 2022.
Dia mengatakan enam masyarakat adat Dayak Marjun itu akan menghadapi sidang putusan pada Kamis, 8 September 2022. Menurut Benni, kriminalisasi ini bermula dari konflik agraria antara masyarakat adat Dayak Marjun dan sebuah perusahaan perkebunan yang telah berlangsung sejak 2006. Menurut dia, perusahaan tersebut merampas wilayah adat Masyarakat Dayak Marjun untuk keperluan kebun kelapa sawit.
Benni menuturkan masyarakat sebenarnya sudah melakukan berbagai upaya protes dan penolakan. Namun, 6 orang yang melakukan protes malah ditangkap pada 4 Juni 2022. Mereka adalah 4 Masyarakat Adat Dayak Marjun, Jamaluddin, Shabir, Mansur dan Amin; dua lainnya adalah Ketua DPC KASBI, Boni dan pekerja sawit Alek. Mereka dituduh mencuri sawit di lahan milik perusahaan.
Menurut Benni, KNPA dan gerakan buruh mendapati sejumlah kejanggalan selama proses penyidkan hingga persidangan kasus ini. Kejanggalan pertama, kata dia, perusahaan telah menanam sawit di luar area Hak Guna Usaha dan menyerobot wilayah adat Dayak Marjun seluas 1.800 hektare. “Tidak ada pengawasan dan tindakan hukum atas pelanggaran tersebut,” kata dia.
Selain itu, Benni menuturkan pada persidangan saksi dan pelapor tak bisa menunjukkan bukti kepemilikan HGU dan batas-batas HGU yang diklaim dan dikuasai oleh perusahaan. “Para penegak hukum seharusnya lebih teliti dalam menerapkan hukum yang berlaku di tengah masyarakat,” ujar dia.
Karena kejanggalan itu, KNPA dan GEBRAK meminta hakim memutus secara adil, yakni membebaskan keenam orang tersebut. Mereka juga menuntut agar Kementerian Agraria dan Tata Ruang segera melakukan evalusi dan menyelesaikan konflik antara Masyarakat Dayak Marjun dengan perusahaan perkebunan.
Baca juga: Jokowi Bertemu Adian Napitupulu Cs, Bahas Masalah Agraria dan Resesi Global