TEMPO.CO, Jakarta - Pidato Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suharso Monoarfa yang menyinggung soal 'amplop kiai' menuai polemik hingga muncul desakan mundur dari kursi pimpinan partai Ka'bah.
Desakan tersebut datang dari tiga elemen Majelis DPP PPP lewat sebuah surat bertarikh 22 Agustus 2022 yang diteken tiga pimpinan, yakni Ketua Majelis Syariah DPP PPP Mustofa Aqil Siraj, Ketua Majelis Pertimbangan DPP PPP Muhamad Mardiono, serta Ketua Majelis Kehormatan DPP PPP Zarkasih Nur.
Majelis menyebut empat pertimbangan mengapa Suharso harus mundur sebagai ketua umum. Salah satunya, perkembangan suasana yang tidak kondusif dan kegaduhan di internal PPP, terutama di kalangan para kiai dan santri akibat pidato Suharso di KPK pada tanggal 15 Agustus 2022, yang menyinggung pemberian sesuatu ketika silaturahmi atau sowan kepada para kiai. Isi pidato Suharso itu dinilai tidak pantas keluar dari seorang pimpinan partai Islam.
"Kami pimpinan ketiga Majelis di DPP-PPP meminta Saudara Suharso Monoarfa berbesar hati mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum DPP-PPP," demikian petikan surat tersebut.
Sekretaris Jenderal PPP Arwani Thomafi menyebut bahwa Suharso telah menyampaikan permintaan maaf dan menyampaikan klarifikasi atas pernyataannya tersebut.
"DPP membuka dan mengedepankan ruang dialog dan tabayun untuk mendudukkan masalah lebih jelas. Senin, 22 Agustus, Ketum sowan dan sudah menjelaskan kepada Wakil Ketua Majelis Syariah KH Afifudin Muhajir dan Sekretaris Majelis Syariah H Chaerul Saleh Rasyid. Beliau memahami dan lega sudah mendapatkan penjelasan secara utuh dari ketum," ujar Arwani. "Konsolidasi partai berjalan dengan baik. Insyaallah semua ini akan segera dituntaskan".
Pidato Suharso yang menuai polemik itu disampaikan dalam acara Pembekalan Antikorupsi Politik Cerdas Berintegritas (PCB) yang diselenggarakan Komisi Pemberantasan Korupsi, Senin, 15 Agustus 2022 lalu.
Kala itu, Suharso mendapat giliran berpidato setelah Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dan Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK Wawan Wardhiana menyampaikan pengarahan soal pendidikan antikorupsi.
Dalam pidatonya, Ghufron mengingatkan seluruh kader bahwa tujuan berpartai adalah berjuang untuk kepentingan rakyat. Pimpinan lembaga antirasuah itu juga mengingatkan untuk tidak mengandalkan uang dalam mencapai tujuan.
Senada, Wawan juga menguraikan urgensi menumbuhkan budaya antikorupsi. Ia mengingatkan dengan sebuah idiom “bukan membenarkan hal yang biasa, melainkan membiasakan hal yang benar”.
Menurut Suharso, dia sangat setuju dengan Wawan dan Ghufron. “Itu pesan-pesan yang ingin saya tangkap dan ingin saya ulang dan garis bawahi. Saya sungguh tergugah dengan imbauan KPK itu dan saya memulai sambutan dengan sedikit merefleksi atas apa yang saya alami sebagai sebuah ilustrasi," ujar dia.
Suharso meminta semua pihak memahami konteks pidatonya itu secara keseluruhan. "Saya menyesalkan ada pihak yang dengan sengaja mencuplik sepotong dari sambutan saya pada acara Politik Identitas Cerdas Berintegritas yang diselenggarakan Komisi Pemberantasan Korupsi, Senin, 15 Agustus 2022 lalu, cuplikan yang sepotong itu menjadi di luar konteks dan membentuk opini negatif,” ujar dia. "Saya sama sekali saya tidak ada maksud untuk menyalahkan siapapun, saya hanya mengilustrasikan".
Namun, ia tetap meminta maaf jika penggunaan ilustrasi tersebut menyinggung para kiai.
"Saya akui ilustrasi dalam sambutan itu sebuah kekhilafan dan tidak pantas saya ungkapkan. Mestinya ada cara lain, bukan dengan mengungkapkan ilustrasi yang justru mengundang interpretasi yang keliru, dan apalagi dipotong-potong. Untuk itu saya mohon maaf dan mohon dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya," ujar Suharso.
Direktur Eksekutif Institute for Democracy & Strategic Affairs, Ahmad Khoirul Umam menyebut pernyataan "amplop kiai" Suharso ini mengandung efek destruktif yang besar. Di mata para kiai yang selama ini bernaung dan dekat dengan PPP, ujar dia, pernyataan itu akan membuat kesan buruk yang melekat pada individu Suharso, selaku Ketum PPP.
Jika dampak negatifnya terus bergulir dan sulit dimitigasi, Umam menengarai hal itu berpotensi menggerus akar politik PPP yang tersebar di banyak jaringan pesantren lokal. Kondisi menjadi riskan, karena elektabilitas PPP di Pemilu 2019 lalu hanya 4,5 persen. Kasus "amplop kiai" ini dinilai berpotensi mendegradasi elektabilitas PPP. "Bisa-bisa PPP masuk zona degradasi dan terlempar dari jajaran partai Senayan," ujar Umam.
Untuk itu, kata dia, desakan tiga elemen Majelis PPP yang meminta Suharso mundur dari kursi Ketua Umum PPP, harus benar-benar disikapi dan dipertimbangkan secara cepat.
"Jika basis legitimasi politiknya di internal partai sudah jatuh, yang bisa menyelamatkan Suharso hanya satu, yakni kekuasaan. Tapi lagi-lagi, hal itu juga mengandung risiko besar berupa rapuhnya mesin politik PPP di akar rumput. PPP harus memilih, mempertahankan ketumnya dengan harapan bisa mengembalikan kepercayaan publik, atau harus mempertaruhkan nasib dan keselamatan partainya," ujar Umam.
DEWI NURITA
Baca: Gara-gara Amplop Kiai, Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa Dilaporkan ke Polda Metro