Pimpim NU Sejak 34 Tahun
Ketika NU memisahkan diri dari Partai Masyumi, Idham memutuskan terlibat di NU dan aktif melakukan konsolidasi ke dalam badan internal organisasi. Di antaranya seperti menjadi anggota Majelis Pertimbangan Politik PBNU. Tugasnya memberikan arahan dan analisa sebagai saran kepada PBNU.
Melansir situs resmi Layanan Dokumentasi Ulama dan Keislaman, Idham mewakili daerah Kalimantan menjadi anggota Parlemen Sementara Negara Kesatuan seiring jabatannya sampai tahun 1955. Selama masa kampanye Pemilu 1955, ia menjabat juga sebagai Ketua Lajnah Pemilihan Umum Nahdlatul Ulama (Lapunu).
Hasil Pemilu 1955 pun keluar, NU berhasil meraih suara peringkat ketiga. Dengan perolehan suara yang cukup besar, NU mendapatkan jatah lima menteri, termasuk satu kursi wakil perdana menteri, yang oleh PBNU diserahkan kepada Idham Chalid pada Kabinet Ali Sastroamidjojo II.
Pada Muktamar NU ke21, Idham terpilih untuk Ketua Umum PBNU. Saat itu umurnya masih 34 tahun, terbilang muda. Jabatan berlangsung sampai 1984 dan menjadikannya orang terlama yang menjadi ketua umum PBNU selama 28 tahun.
Moncer di Luar NU
Selain aktif di NU, ia berhasil meraih kursi Wakil Perdana Menteri di era kejayaan Presiden Soekarno tahun 1959. Berkat kemampuannya, dirinya ditarik sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung. Tak sampai setahun kemudian ia menjadi Wakil Ketua MPRS.
Di masa Orde Baru, karir politiknya tetap moncer. Ia dipercaya sebagai Menteri Kesejahteraan Rakyat dalam Kabinet Ampera I, Kabinet Ampera II dan Kabinet Pembangunan I. Di akhir 1970, Idham setelah wafatnya mendiang A.M Tambunan dipercaya memegang jabatan Menteri Sosial sampai akhir masa bakti Kabinet Pembangunan I pada tahun 1973.
Kembali ke NU, dengan jabatannya itu masih membawa partai ini ke dalam kancah perpolitikan Indonesia. Hanya saja pemerintah melebur seluruh partai menjadi hanya tiga partai: Golkar, PDI, dan PPP. NU tergabung di dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Idham dipercaya memimpin PPP yang dijabatnya sampai tahun 1989. Ia juga terpilih menjadi ketua MPR/DPR sampai 1977. Terakhir ia menjabat juga sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung sampai 1983.
Idham Chalid juga punya gelar Honoris Causa (HC) dari Al-Azhar University, Kairo. Sumbangsihnya kepada negara dan kemampuannya berperan ganda dalam satu situasi: sebagai ulama dan politisi diakui oleh salah satu universitas terkenal di dunia itu.
FATHUR RACHMAN
Baca juga: Idham Chalid: antara NU, Politik, dan Pendidikan untuk yang Tak Berpunya