Pada 1902, Tjokroaminoto lulus dari Opleiding Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) atau sekolah pegawai negeri adat di Magelang. Setelah lulus, ia bekerja sebagai salah satu pegawai negeri di Ngawi selama tiga tahun, 1902 sampai 1905. Lalu, pada 1906, Tjokroaminoto berpindah ke Surabaya, di sanalah ia bertemu dengan Samanhudi, pendiri serta pemimpin Serikat Buruh Islam (SDI).
Di malam hari Tjokroaminoto mengisi waktunya dengan bersekolah di Burgerlijke Avond School (BAS) atau sekolah teknik mesin selama beberapa tahun.
Selesai di BAS, ia bekerja di pabrik gula pada 1907 sampai 1912. Tjokroaminoto menulis untuk Bintang Soerabaja setiap harinya dan menjadi asisten staf.
Tulisan yang Tjokroaminoto tuangkan dalam Bintang Soerabaja adalah kritik untuk pemerintah Hindia Belanda. Surat kabar yang ia tulis pun laris terjual. Hal ini kemudian menimbulkan kekhawatiran bagi pemerintah Hindia Belanda sendiri.
Ia dianggap sebagai ancaman bagi pemerintah Hindia Belanda karena menulis tentang propaganda di seluruh surat kabar. Sejak saat itu, Tjokroaminoto langsung dikenal sebagai sosok organisasi pergerakan yang berani melawan Hindia Belanda.
Selain melawan pemerintah Hindia Belanda, Tjokroaminoto juga menjadi salah satu pelopor gerakan serikat buruh di Indonesia. Ia juga turut mencetus ide politik yang kemudian melahirkan berbagai ideologi bangsa Indonesia saat itu. Ia juga mendidik santri di rumahnya sendiri, seperti Semaun, Alimin, Musso, Sukarno, Kartosuwiryo, bahkan Tan Malaka.
Sarekat Dagang Islam menjadi Sarekat Islam
Setelah Tjokroaminoto pun diminta untuk bergabung dalam organisasi Itu, ia diminta untuk mempersiapkan regulasi yang dibutuhkan organisasi dan penanganan manajemen.Tjokroaminoto menyarankan agar kata dagang dihapuskan dalam nama Serikat Dagang Islam, sehingga hanya menjadi Sarekat Islam (SI).
Perubahan nama ini dilakukan agar organisasi Sarekat Islam tidak hanya berfokus pada perekonomian, tetapi juga hal lain, seperti politik.
Tampak depan Museum HOS Tjokroaminoto di Jalan Peneleh VII No 29, Surabaya, Jawa Timur, Senin, 28 Januari 2019. Museum ini berbentuk arsitektur khas Jawa dengan dua lantai yakni lantai bawah sebagai tempat tinggal keluarga HOS Tjokroaminoto dan lantai dua yang difungsikan sebagai kamar indekos. ANTARA
Setelah berubah, Tjokroaminoto pun mengetuai Sarekat Islam pada 1912. Panitia pusat pun dibentuk oleh Samanhudi sebagai ketua dan Tjokroaminoto sebagai wakil ketua.
Untuk kepentingan organisasi, Tjokroaminoto dan petinggi lainnya pergi ke Gubernur Jenderal Alexander Willem Frederik Idenburg pada 29 Maret 1913. Tujuan mereka datang ke Idenburg yaitu untuk mengesahkan SI, namun pengesahan tersebut tidak dapat diberikan. Tetapi, Sarekat Islam lokal dapat diberikan status sebagai badan hukum. Sejak saat itu, jumlah anggota SI pun meningkat pesat, menjadi sekitar dua setengah juta.
Sejak saat itu, Tjokroaminoto pun dikenal sebagai Ksatria Piningit para pribumi karena sudah memberikan sumbangsih kepada orang banyak.
Salah satu kutipan yang terkenal dari Tjokroaminoto adalah "setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat". Kutipan tersebut ia berikan kepada murid-muridnya, Semaun, Alimin, Musso, Soekarno, dan Kartosuwiryo.
Dari kutipan tersebut Tjokroaminoto ingin menggambarkan suasana perjuangan Indonesia pada masanya. Pesan lain yang juga ia berikan kepada murid-muridnya adalah "Jika anda ingin menjadi pemimpin yang hebat, menulis seperti jurnalis dan berbicaralah seperti orator". Kata-kata tersebut kemudian selalu ditirukan oleh Soekarno saat ia hendak pergi tidur.
Perjuangan yang Tjokroaminoto kerahkan untuk Indonesia...