TEMPO.CO, Jakarta - Justice collaborator telah sering dipakai untuk membantu menangani jalannya kasus besar. Namun, penerapan dalam lapangan masih terdapat tantangan tersendiri.
Dilansir dari situs resmi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), setidaknya ada empat permasalahan yang dihadapi. Pertama, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak menuliskan istilah “saksi pelaku” dalam penerapan justice collaborator.
Sedangkan dalam KUHAP hanya mengenal saksi korban yang meringankan terdakwa (a de charge), saksi yang memberatkan terdakwa (a charge), dan saksi utnuk mendengar dari orang lain (de auditu). Hal ini membuat sering ditemukanya penyidik yang menolak adanya status saksi pelaku dengan dalih telah sesuai denga napa yang disebutkan dalam KUHAP.
Masalah lain yang diterima LPSK ialah kurangnya kordinasi. LPSK menilai bahwa lembaganya kesulitan dalam mengolah permohonan pelaku untuk menjadi saksi pelaku. Hal ini disebabkan karena kurangnya informasi yang masuk kepada mereka dari para penyidik.
Adapula para jaksa yang biasanya tidak menuliskan berita acara untuk saksi pelaku untuk dilaporkan ke Lembaga Pemasyarakatan. Hal ini sering terjadi ketika pemohonan saksi pelaku ditetapkan oleh hakim tanpa melewati jaksa penuntut umum terlebih dahulu.
Lalu yang terakhir ialah rekomendasi pemberian saksi pelaku tidak selalu menjadi prioritas LPSK. Padahal, penetapan saksi pelaku yang dilakukan oleh penyidik, jaksa, dan kepala lembaga pemasyarakatan berpotensi terjadinya hubungan yang koruptiff dan menimbulkan konflik kepentingan.
Karena itu, LPSK telah meminta kepada presiden melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk menerbitkan peraturan presiden tentang koordinasi aparat penegak hukum dan LPSK mengenai saksi pelaku.
Dengan begitu, LPSK pun dapat menjalankan tugasnya secara terkonsentrasi. Selain itu, hadirnya LPSK juga akan memberikan perlindungan sesuai dengan UU Nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
FATHUR RACHMAN
Baca juga: Begini Cara Mengajukan Perlindungan ke LPSK