INFO NASIONAL – Sejauh ini, hanya segelintir negara berkembang yang masih belum mengatur ketat kemasan galon BPA dengan regulasi. Vietnam dan Indonesia adalah contoh yang segelintir itu. Sementara, di negara maju kemasan plastik Bisphenol A (BPA) sudah dilarang melalui regulasi; utamanya karena dinilai bisa memicu gangguan jantung, ginjal, kanker, gangguan hormon pada laki-laki dan perempuan, hingga gangguan mental pada anak.
Pengajar Biokimia Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor (IPB), Syaefudin, PhD sepakat jika Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tetap melakukan pengawasan ketat terhadap konsentrasi BPA yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui air minum dalam kemasan galon plastik keras.
“Kita sebenarnya tidak tahu berapa konsentrasi BPA yang ada di sekeliling kita. Kalau tidak dibatasi, bisa saja ada yang nakal meningkatkan konsentrasi BPA,” katanya. Dia pun mendukung adanya rancangan regulasi yang akan mengatur penggunaan galon dengan label Bisphenol A (BPA) pada Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) oleh BPOM.
“Regulasi pelabelan ini semata untuk perlindungan kesehatan masyarakat,” kata Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K. Lukito. Regulasi pelabelan tersebut, kata dia, mengacu pada hasil kajian dan riset mutakhir di berbagai negara terkait risiko paparan BPA pada kesehatan publik.
"Semua kajian (scientific research) lebih kepada risiko yang sangat tinggi terhadap kesehatan akibat dari BPA," katanya. Menurut Penny, kehadiran pelabelan tersebut bisa memotivasi pelaku industri untuk berinovasi dalam menghadirkan kemasan air minum yang aman bagi masyarakat. "Dari sisi konsumen, pelabelan risiko BPA adalah hak masyarakat untuk teredukasi dan memilih apa yang aman untuk dikonsumsi," tuturnya
Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM Rita Endang menampik tudingan bahwa pelabelan BPA adalah vonis mati bagi industri air kemasan. "Regulasi pelabelan BPA tidak menyasar industri depot air minum. Sejauh ini sudah ada 6.700 izin edar air kemasan yang dikeluarkan BPOM," kata Rita.
Dia merinci, saat ini sekitar 50 juta lebih warga Indonesia sehari-harinya mengkonsumsi air kemasan bermerek. Dari total 21 miliar liter produksi industi air kemasan per tahunnya, 22 persen diantaranya beredar dalam bentuk galon isi ulang.
Galon BPA diketahui selain sulit didaur ulang, juga sangat rentan terhadap gesekan dan sinar matahari dalam proses distribusinya dari pabrik hingga ke tangan konsumen, yang sangat berpotensi melepaskan senyawa BPA hingga menyebabkan air di dalam kemasan terkontaminasi.
Belum lagi tidak adanya kontrol terhadap galon BPA di pasaran yang sudah berusia di atas lima tahun, atau galon isi ulang yang dicuci dengan deterjen di pinggir jalan selama bertahun-tahun. Meski diklaim tahan panas, tidak ada juga yang mengontrol sejauh mana kontaminasi yang terus menerus terjadi pada air dalam kemasan galon BPA, baik karena kenaikan suhu temperatur maupun karena sebab lain seperti gesekan atau perlakukan saat pembersihan galon.(*)