TEMPO.CO, Yogyakarta - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan DIY memeriksa dua guru Bimbingan Konseling (BK) SMA Negeri 1 Banguntapan Bantul Yogyakarta dalam kasus dugaan siswi dipaksa pakai jilbab. Dari pemeriksaan itu, ORI menyatakan menemukan dua fakta penting.
"Hari ini ada dua guru BK (Bimbingan Konseling) yang kami klarifikasi, satu dari koordinator BK, dan satu lagi guru BK kelas yang baru bergabung di SMAN 1 Banguntapan bulan April lalu," kata Ketua ORI DIY, Budhi Masturi usai pemeriksaan Rabu, 3 Agustus 2022.
Budhi menuturkan ada sejumlah temuan yang berhasil diperoleh pihaknya dari klarifikasi dua guru tersebut yang menjadi akar dugaan pemaksaan jilbab dan membuat siswi bersangkutan depresi hingga akhirnya pindah sekolah.
Temuan pertama, merujuk panduan atau tata tertib yang disusun sekolah SMAN 1 Banguntapan Bantul soal kebijakan seragam sekolah yang berlaku.
"Dari tata tertib soal model seragamnya SMAN 1 Banguntapan, sekilas memang tidak ada kalimat bahwa siswi muslimah wajib menggunakan jilbab, namun jika dilihat seksama, juga tidak ada pilihan dalam tata tertib itu bagi siswi muslim untuk tak berjilbab, pilihan yang tersedia hanya siswa muslim - non muslim," kata Budhi.
Tak adanya pilihan seragam ini membuat sekolah itu pun selama ini menerapkan patokan baku bahwa seragam khususnya siswi muslim otomatis harus berjilbab meski tak ada kata 'wajib'. Karena tak ada alternatif lain.
Adapun pilihan atribut seragam tak berjilbab dalam tata tertib itu hanya diperuntukkan bagi siswi non muslim. Bukan untuk siswi muslimah.
"Jadi semua siswi muslim di sekolah itu semua pakai seragam berjilbab dari Senin sampai Jumat, tidak ada contoh seragam lain misalnya yang tak berjilbab, karena tidak ada pilihan dalam tata tertibnya," ujar Budhi yang meminta dari kasus ini pemerintan daerah perlu mencermati lagi tata tertib seragam yang dibuat tiap sekolah.
Tata tertib sekolah yang tak memberi pilihan seragam siswi muslim di SMA Negeri 1 Banguntapan Bantul itu, kata Budhi, berbeda dengan ketentuan yang dibuat Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) nomor 45 tahun 2014 tentang seragam sekolah.
"Indikasinya sementara ada perbedaan dari sekolah saat menerjemahkan Permendikbud nomor 45 itu dalam aturan yang dibuat," kata Budhi.
Padahal, dalam Permendikbud no.45, kata Budhi, diatur detail model seragam sekolah. Mulai dari panjang lengan, jarak rok dari lutut, hingga contoh model pakai kerudung ataupun tidak pakai. Tidak seperti tata tertib yang dibuat SMAN 1 Banguntapan yang hanya membagi seragam siswi hanya untuk kategori berdasar agama saja.
"Kalau ditemukan ada unsur kesengajaan untuk tak mematuhi ketentuan seragam seperti diatur Permendikbud, jelas bisa dikenakan sanksi," kata Budhi.
Adapun temuan lain ORI DIY dalam klarifikasi dugaan pemaksaan jilbab di SMAN 1 Banguntapan Bantul itu, yakni adanya Surat Pemberitahuan Daftar Ulang untuk para siswa atau siswi dari tujuh kelas XI di SMAN 1 Banguntapan tertanggal 7 Juli 2022 dan yang ditandatangani Kepala Sekolah Agung Istiyanto.
Dari surat itu tertulis seluruh siswi putri musti membawa uang sebesar Rp 75 ribu yang akan digunakan untuk membeli jilbab berlogo sekolah.
Hanya saja, lanjut Budhi, saat pemeriksaan itu, guru BK sekolah itu mengklaim sekolah tak mewajibkan siswa membeli atribut seragam yang dimaksud.
"Keterangan guru BK soal ini yang akan kami kroscek ke orang tua siswa lain," kata dia.
Dari pemeriksaan dua guru BK itu, Budhi mengatakan dari cara-cara guru meminta siswi menggunakan jilbab memang sekilas tidak ada unsur-unsur kekerasan.
"Tapi kemudian kita kan menemui fakta bahwa siswi merasa tertekan, namun masalahnya para guru ini juga tidak tahu kalau siswi itu tertekan, karena mereka meyakini bahwa itu hal yang baik yang mereka lakukan," ujar Budhi.
Ombudsman belum mengeluarkan rekomendasi apapun terkait kasus siswi dipaksa pakai jilbab ini. . Mereka masih akan mengklarifikasi keterangan dari guru agama dan wali kelas SMAN 1 Banguntapan Bantul pada Kamis besok 4 Agustus 2022.