Sekembalinya dari Mekah pada 1906, untuk mewujudkan misinya menyebarkan gerakan pembaharuan Islam, Ahmad Dahlan kemudian memilih menjadi pengajar di Kampung Kauman. Menurutnya, pendidikan merupakan tempat yang tepat untuk mengembangkan gagasannya itu. Selain sebagai pengajar, dia juga diangkat sebagai abdi dalem dengan jabatan khatib di Masjid Gede Kauman. Aktivitas Ahmad Dahlan dalam kegiatan kemasyarakatan yang beragam ini menjadikan dirinya mudah diterima oleh semua lapisan masyarakat.
Selain itu, Ahmad Dahlan juga rutin bersilaturahmi dengan kalangan priyayi pengurus perkumpulan Boedi Oetomo. Melalui Joyosumarto, Kiai Haji Ahmad Dahlan kemudian berkenalan dengan ketua Boedi Oetomo Yogyakarta, Dokter Wahidin Soedirohoesodo. Pada 1909, Ahmad Dahlan resmi menjadi anggota Boedi Oetomo. Keterlibatannya dalam aktivitas perkumpulan menjadi bekal baginya memahami tata cara mengatur organisasi, yang dipraktikkannya saat mendirikan organisasi Muhammadiyah.
Menurut Adi Nugroho dalam bukunya, selain belajar berorganisasi, misi utama Ahmad Dahlan masuk perkumpulan Boedi Oetomo adalah agar dapat berdakwah di kalangan priayi. Setiap selesai kegiatan rapat, Ahmad Dahlan diberi kesempatan menyampaikan materi pengetahuan agama Islam. Selain itu, untuk mendapatkan informasi tentang pemikiran-pemikiran pembaharuan dari Timur Tengah, Ahmad Dahlan juga bergabung di organisasi Jami’at Khair pada 1910. Organisasi tersebut beranggotakan orang-orang arab yang bergerak dalam bidang pendidikan agama dan aktivitas sosial.
Aktivitas Ahmad Dahlan dalam organisasi-organisasi ini menjadikan aktivitas dakwahnya semakin luas serta mendapatkan dukungan dari banyak pihak. Gagasan-gagasan pembaharuan Islamnya mulai mendapat dukungan dari rekan-rekannya. Ahmad Dahlan kemudian didesak untuk segera mendirikan perkumpulan sebagai wadah menyampaikan gagasan-gagasan pembaharuan tersebut. Akhirnya Ahmad Dahlan mendirikan perkumpulan Muhammadiyah pada 18 November 1912, bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330 Hijriyah.
Pada 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan surat permohonan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda agar Muhammadiyah diakui sebagai organisasi berbadan hukum. Permohonan disetujui pada 22 Agustus 1914, namun izin tersebut hanya berlaku di Yogyakarta. Pemerintah kolonial Hindia Belanda khawatir dengan aktivitas Muhammadiyah, sehingga kegiatannya dibatasi. Menyikapi keputusan pemerintah, Ahmad Dahlan menganjurkan pengurus di luar Yogyakarta menggunakan nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Almunir di Makassar, Alhidayah di Garut, dan Sidiq, Amanah, Tabligh, Fathonah di Solo.
Nur Khozin dan Isnudi dalam bukunya menyebutkan, selain mendapat kekangan dari pemerintah, Muhammadiyah juga mendapat tantangan dari pihak-pihak yang tak menginginkan keberadaan organisasi Islam ini. Masyarakat telah terbiasa dengan mencampur adukkan antara syariat agama Islam dengan budaya lokal. Sehingga gerakan pembaharuan Islam yang dibawa Ahmad Dahlan dinilai bertentangan. Tak jarang dirinya mendapatkan cacian, bahkan ancaman.
Menyikapi kondisi ini, KH Ahmad Dahlan rajin melakukan silaturahmi dan memberikan teladan hidup yang baik. Silaturahmi dijadikannya sebagai media untuk mendiskusikan gagasannya dengan ulama-ulama yang tidak sepaham, sehingga lambat laun tercapai kesepahaman. Secara sosial, Ahmad Dahlan bersama muridnya rutin memberikan santunan kepada fakir miskin dan anak yatim dengan benda-benda yang baik. Strategi tersebut berhasil mengurangi pandangan negatif pihak-pihak yang tak menghendaki lahirnya Muhammadiyah.
HENDRIK KHOIRUL MUHID
Baca: KH Ahmad Dahlan Tegaskan Sejak Awal Muhammadiyah Bukan Organisasi Politik
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.