Ahmad Dahlan dididik secara langsung oleh orang tuanya dalam lingkungan keluarga. Saat usianya baru menginjak 8 tahun, Ahmad Dahlan sudah mampu membaca Alquran sesuai dengan kaidah ilmu tajwid. Ahmad Dahlan juga menuntut ilmu agama pada ulama lain, sehingga pengetahuannya terus bertambah dan makin luas. Setelah dinilai cukup menguasai pengetahuan agama, ayahnya kemudian meminta Ahmad Dahlan merantau ke Mekah. Selain untuk menunaikan ibadah haji, sekaligus memperdalam pengetahuan agama.
Berkat bantuan biaya dari Kiai Haji Soleh, kakak iparnya, Ahmad Dahlan berangkat ke Makkah pada 1883. Lima tahun di Makkah, dia mendalami berbagai ilmu agama seperti qiraat, tafsir, tauhid, fikih, tasawuf, ilmu falak, bahasa arab, dan ilmu lainnya. Mengutip buku Kyai Haji Ahmad Dahlan (2009) oleh Adi Nugroho, menjelang kepulangannya ke Tanah Air, Ahmad Dahlan menemui Imam Syai’I Sayid Bakri Syatha untuk mengubah nama. Nama Muhammad Darwis ditanggalkan dan diganti dengan Ahmad Dahlan dengan gelar Haji di depannya.
Setelah pulang kampung, Ahmad Dahlan dengan bekal ilmunya diminta sang ayah untuk mengajar anak-anak di Kampung Kauman. Kegiatan belajar mengajar itu dilakukan pada siang dan sore hari di langgar atau surau ayahnya. Sesekali dia menggantikan mengajar orang dewasa apabila ayahnya berhalangan. Aktivitas inilah yang kemudian menyebabkan Ahmad Dahlan dipanggil sebagai Kiai. Kiai merupakan sebutan untuk ulama atau seseorang yang ahli agama, terutama di lingkungan tanah Jawa.
Pada 1889, Ahmad Dahlan menikah dengan Siti Walidah yang pada saat itu berusia tujuh belas tahun. Siti Walidah, atau di kemudian hari dipanggil Nyai Haji Ahmad Dahlan, merupakan putri Kyai Fadhil Kamaludiningrat, penghulu di Kraton Yogyakarta. Bersama Siti Walidah, Ahmad Dahlan dikaruniai enam orang anak. Anak pertama, Johanah, lahir pada 1890. Anak kedua dan ketiga, Siradj Dahlan dan Siti Busjro masing-masing lahir pada 1889 dan 1903. Anak keempat, Siti Aisyah, lahir pada 1905. Anak kelima dan keenam, Irfan Dahlan lahir pada 1907, serta Siti Zuharah lahir pada 1908.
Selain dengan Siti Walidah, Ahmad Dahlan juga menikahi tiga wanita lain. Pernikahan tersebut dilakukan setelah mendirikan organisasi Muhammadiyah karena alasan agama dan dakwah. Istri kedua Ahmad Dahlan, R.A.Y Soetidjah Windyaningrum, dikenal juga dengan nama Nyai Abdulah. Pernikahan tersebut didasari oleh permintaan dari keraton. Sebagai abdi dalem keraton, Ahmad Dahlan tak dapat menolak. Selain itu, pernikahan ini juga menjadi tanda bahwa Sultan Yogyakarta merestui berdirinya organisasi Muhammadiyah. Namun pernikahan tersebut tidak berlangsung lama, keduanya berakhir cerai.
Pernikahan Ahmad Dahlan berikutnya dilakukan atas permintaan sahabatnya dari Krapyak, Yogyakarta, Kyai Munawar. Munawar meminta Ahmad Dahlan menikahi adiknya, Nyai Rum. Pernikahan ini bertujuan untuk memperkukuh hubungan antara organisasi Nahdlatul Ulama dan Muhamadiyah. Saat berdakwah di Cianjur, Ahmad Dahlan juga diminta untuk menikahi Nyai Aisyah. Dia adalah adik penghulu ajengan atau penghulu bangsawan. Penghulu ajengan menginginkan agar keturunan Ahmad Dahlan ada yang tinggal di Cianjur untuk meneruskan dakwahnya. Pernikahannya dengan Aisyah dikaruniai seorang putri bernama Siti Dandanah.
Pada 1903 Ahmad Dahlan kembali ke Makkah bersama anak pertamanya, Muhammad Siradj, yang masih berumur enam tahun. Dia menetap selama dua tahun di Makkah untuk memperdalam pengetahuan agama. Selama kurun waktu tersebut, Ahmad Dahlan mempelajari gerakan-gerakan pembaharuan Islam yang sedang dilakukan di banyak negara. Pengetahuan inilah yang menjadi dasar dirinya mendirikan organisasi Muhammadiyah ketika pulang ke tanah air. Ahmad Dahlan belajar dan mengkaji pemikiran tokoh-tokoh pembaharuan seperti Jamaluddin Al-Afghani, Ibnu Taimiyah, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha.
Selanjutnya: Bermula dari Kampung Kauman...