TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merekomendasikan pemerintah dan DPR RI untuk mengkaji ulang terhadap Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ( Revisi UU ITE). Komisioner Pengkajian dan Penelitian Sandrayati Moniaga menuturkan, revisi itu perlu menggeser orientasi dari pengekangan hak kebebasan berekspresi ke orientasi perlindungan hak kebebasan berekspresi.
Sandra mengatakan terdapat beberapa poin penting yang harus dimasukkan pemerintah dalam Revisi UU ITE. Poin pertama, menurut dia, pemerintah harus memasukan “asas non diskriminasi” sebagai asas penting di dalam revisi itu.
“Pembentuk RUU ITE perlu mencantumkan pasal khusus tentang "pembatasan yang sah dan proporsional" agar menjadi dasar bagi penegak hukum dalam menyikapi sejauh mana laporan atas suatu kasus memenuhi kriteria sebagai suatu tindak pidana ataukah bukan,” tulis poin keuda dalam keterangan tertulis Sandra.
Ketiga, menghapuskan rumusan pasal tentang pencemaran nama baik dalam Revisi UU ITE, karena berpotensi membatasi hak kebebasan berekspresi secara berlebihan (over limitation). Jika pasal tentang pencemaran nama baik di dalam Revisi UU ITE dapat dipertahankan, namun definisi atau unsur pencemaran nama baik harus diuraikan secara jelas, baik dari unsur subyektif, obyektif, maupun akibat yang ditimbulkan.
“Selain itu, perkara ini tidak lagi dimasukkan sebagai tindak pidana dengan ancaman sanksi pidana, melainkan dimasukan ke dalam perbuatan melawan hukum dengan pertanggungjawaban hukum yang bersifat keperdataan, seperti permintaan maaf, ganti rugi atau kompensasi kepada yang dirugikan,” tuturnya.
Keempat, Sandra meminta pemerintah memperbaiki rumusan Pasal 40 ayat (2b) dengan menekankan bahwa lembaga yang diberikan kewenangan untuk melakukan internet shutdown adalah lembaga independen, dengan kewajiban memberikan informasi kepada publik mengenai alasan pemutusan jaringan internet baik mengenai lamanya waktu pemutusan, jangkauan wilayah yang diputus, serta dasar dan pertimbangan hukum dari kebijakan pemutusan tersebut.
Untuk itu, setiap pembatasan akses internet harus diikuti oleh mekanisme pertanggungjawaban yang jelas sebagai bagian dari kewajiban negara dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia setiap warga negaranya.
“Moratorium penerapan pasal-pasal bermasalah dari UU ITE untuk mencegah pelanggaran HAM sampai RUU ITE disahkan,” kata Sandrayati pada poin kelima.
Keenam, Sandar meminta agar standar norma dan pengaturan Komnas HAM Nomor 5 tentang Hak Atas Kebebasan Berpendapat dan Bereskpresi menjadi rujukan bagi pemerintah dan DPR dalam merumuskan kembali Revisi UU ITE.
Sejauh ini, implementasi UU ITE dianggap menimbulkan berbagai bentuk pelanggaran hak berekspresi sejak disahkan pada 2008. Komnas HAM RI berdasarkan kewenangannya telah melakukan pengkajian secara materiil maupun formil atas RUU Perubahan UU ITE.
“Kajian ini dilakukan setelah Komnas HAM RI menerima 108 pengaduan terkait UU ITE sepanjang 2016-2021. Hasil pengkajian dan penelitian Komnas HAM RI kali ini menyimpulkan bahwa RUU Perubahan UU ITE masih berorientasi pada pengekangan hak kebebasan berekspresi (interference oriented) dan belum berorientasi perlindungan hak kebebasan berekspresi (protection oriented). Sayangnya RUU Perubahan UU ITE belum sepenuhnya memperbaiki problem mendasar dari UU ITE karena masih ditemukan kelemahan secara materiil dan formil,” ujar Sandrayati.
Dia menyatakan bahwa Komnas HAM mengapresiasi tim pengkajian serta seluruh pihak yang berkontribusi dalam proses pengkajian ini. Hasil penelitian dan pengkajian diharapkan menjadi masukan untuk pemerintah dan DPR RI dalam memperbaiki Revisi UU ITE yang selaras dengan upaya menjamin perlindungan, pemenuhan dan penghormatan HAM. Khususnya hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi bagi seluruh warga negara Indonesia.