TEMPO.CO, Jakarta -Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari mengaku bingung dengan rencana Majelis Permusyawaratan Rakyat menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) lewat konvensi ketatanegaraan. Sebab, ujar Feri, konvensi jelas-jelas adalah kebiasaan yang tak memiliki kekuatan mengikat penuh sebuah lembaga.
"Konvensi ketatanegaraan itu wujud dari peristiwa yang berulang terjadi dan diakui sebagai tradisi ketatanegaraan, tidak perlu diundangkan. Tetapi juga tradisi itu tidak powerful sampai dapat mengatur lembaga negara lain. Nah, bagaimana bisa PHN itu (hanya) ditradisikan dan mengatur lembaga negara lain? Jadi ide itu terlalu dipaksakan tanpa memahami betul konteks konvensi ketatanegaraan," ujar Feri saat dihubungi, Selasa, 26 Juli 2022.
Menurut Feri, payung hukum PPHN mestinya dibentuk dengan undang-undang agar lebih mengikat. "Bisa sebagai pengganti UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional," tuturnya.
Rapat Gabungan MPR bersama Pimpinan Fraksi dan Kelompok Dewan Perwakilan Daerah kemarin telah menyetujui rencana menghidupkan PPHN tanpa melalui amandemen UUD 1945. Kendati demikian, partai-partai belum sepakat dengan bentuk payung hukum PPHN.
Adapun Badan Pengkajian MPR mengusulkan PPHN dihadirkan lewat konvensi ketatanegaraan. Hal ini serupa dengan penyelenggaraan pidato kenegaraan presiden di hadapan Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPD dan DPR setiap 16 Agustus, yang tidak diatur dalam UUD 1945 dan tidak pula dimandatkan oleh UU, tetapi mengingat urgensinya dapat diterima maka akhirnya menjadi Konvensi Ketatanegaraan.
Payung hukum penyelengaraan Pidato Kenegaraan Presiden 16 Agustus itu adalah Peraturan MPR RI Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Tertib MPR RI. Di dalamnya diatur jenis Keputusan MPR, di antaranya yakni Ketetapan MPR yang berisi pengaturan dan memiliki kekuatan hukum mengikat ke dalam dan ke luar MPR.
"Badan Pengkajian menemukan terobosan ini untuk menghindari adanya amendemen, karena situasi politik hari ini tidak memungkinkan untuk itu. Terobosan itu berpijak pada Pasal 100 ayat (2) di Tatib MPR, bahwa ketetapan MPR dapat dilakukan melalui konvensi ketatanegaraan yang bisa mengikat ke dalam maupun ke luar. Inilah yang tadi laporan dari pada Badan Pengkajian diterima secara bulat oleh rapat gabungan, yang selanjutnya adalah pembentukan panitia Ad Hoc," kata Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, kemarin.
Adapun Fraksi Golkar MPR, partai Bambang sendiri, justru menolak usul PPHN dihadirkan lewat konvensi ketatanegaraan. "Fraksi Partai Golkar MPR RI dengan tegas menolak," ujar Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI, Idris Laena lewat keterangan tertulis, Selasa, 26 Juli 2022.
Musababnya, lanjut Idris, konvensi tidak punya kekuatan hukum yang mengikat, baik terhadap lembaga negara yang lainnya, apalagi untuk mengikat seluruh Warga Negara Indonesia. "Kalau konvensi yang dijadikan contoh adalah pidato presiden di Sidang Tahunan MPR RI 16 Agustus, yang setiap tahun dilaksanakan tanpa diatur konstitusi, tentu saja berbeda, karena pidato tahunan bukan produk hukum," ujar dia.
Lagipula, ujar Idris, payung hukum penyelengaraan Pidato Kenegaran Presiden 16 Agustus, juga hanya diatur dalam Pasal 100 Peraturan MPR RI Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Tertib MPR RI. "Menjadikan Pasal 100 tata tertib MPR sebagai landasan produk hukum PPHN sudah pasti akan menjadi perdebatan panjang di kalangan masyarakat, karena tata tertib masing-masing lembaga hanya mengikat ke dalam Dan bukan bagian dari hirarki perundang-undangan Indonesia. Fraksi Partai Golkar pasti akan menolak wacana menghadirkan PPHN dengan landasan hukum yang mengada-ada dan terkesan dipaksakan," ujar dia.
Fraksi Golkar mengusulkan payung hukum PPHN berlandaskan undang-undang. "Lebih baik UU, karena lebih mengikat sebagai produk hukum dan sekaligus dapat menggantikan UU RPJPM yang akan segera berakhir," tutur Idris.
MPR baru akan melakukan sidang paripurna pengambilan keputusan soal PPHN pada September mendatang. Dalam sidang itu, MPR akan mendengarkan pandangan setiap fraksi dan kelompok DPD, dengan ketentuan jika mayoritas anggota MPR sebagai pemegang hak konstitusi yang hadir dalam paripurna tersebut dapat menerima Rancangan PPHN, maka selanjutnya akan dibentuk Panitia Ad Hoc untuk menggodok payung hukum PPHN.
DEWI NURITA
Baca Juga: Seluruh Fraksi MPR dan DPD Sepakat Terima Laporan tentang PPHN