TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Alexander Marwata mengatakan lembaganya tak bisa menangani kasus dugaan gratifikasi Lili Pintauli Siregar. Menurut dia, KPK tak akan bisa independen menangani kasus itu.
“Bukannya tidak bisa, inisiatif dari pimpinan,” kata Alex di kantornya, Jakarta, Kamis, 21 Juli 2022.
Alex menjelaskan sesama pimpinan tentu saling mengenal satu dengan lainnya. Nah, di KPK, dia mengatakan, ada kode etik yang mengatur soal kedekatan itu.
Dia menuturkan bila pimpinan mengenal dekat dengan orang yang akan dijadikan tersangka, maka pimpinan itu harus mengumumkannya. “Kalau pimpinan kenal dengan tersangka, dia harus men-declare, karena dianggap keputusannya tidak akan bisa independen,” kata dia.
Alex mencontohkan, saat KPK menangani kasus yang ternyata melibatkan bekas teman sekolahnya, maka dirinya tak bisa ikut mengambil keputusan di dalam kasus tersebut. “Kalau saya merasa tidak bisa bersikap independen kepada seseorang yang saya kenal dengan baik, itu saya umumkan,” ujar dia.
Alex mengatakan kalaupun kasus itu mau ditangani, maka harus oleh aparat hukum selain KPK. Menurut dia, keputusan Lili untuk mundur merupakan bentuk pertanggungjawaban atas kesalahannya.
Lili Pintauli mundur dari jabatannya sebagai Wakil Ketua KPK setelah terseret kasus dugaan gratifikasi penerimaan tiket MotoGP dan akomodasi di Mandalika, Lombok. Lili mundur ketika Dewan Pengawas memutuskan kasus ini naik ke tahap sidang etik.
Dewas kemudian memutuskan menggugurkan sidang tersebut. Dewas KPK menyatakan tak bisa lagi menyidangkan Lili yang sudah tidak berstatus insan KPK. Dewas menyerahkan penanganan kasus selanjutnya kepada pimpinan KPK.
Sejumlah pihak menilai persoalan Lili Pintauli bukan hanya masalah pelanggaran etik. Indonesia Corruption Watch menilai ada unsur pidana dalam penerimaan itu, yakni dugaan penerimaan gratifikasi. ICW menilai KPK dan penegak hukum lain bisa menyeret Lili ke jalur hukum.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.