TEMPO.CO, Jakarta - Beberapa pasal di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dinilai dapat mengancam kebebasan pers di tanah air. Kekhawatiran ini disampaikan oleh sejumlah komunitas pers, menjelang pengesahan RKUHP dalam rapat paripurna DPR.
"Ini akan membawa potensi lebih banyak jurnalis ke jeruji besi," kata Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ika Ningtyas dalam konferensi pers, Senin, 18 Juli 2022.
Baca Juga:
Sebelumnya, pemerintah telah menyerahkan kembali draf RKUHP kepada pemerintah. Pengesahan di paripurna sedianya akan digelar awal Juli, tapi akhirnya tertunda karena DPR sudah masuk masa reses.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej tak yakin bahwa RKUHP bisa disahkan sesuai target Juli 2022. Dia mengatakan waktu yang dimiliki untuk pemerintah menyerahkan draf, hingga pengesahan terlalu pendek.
“Kita tahu bersama bulan Juli ini tinggal 9 hari lagi,” kata Eddy panggilan dari Edward Omar Sharif Hiariej dalam diskusi RKUHP, Kamis, 23 Juli 2022.
Eddy mengatakan DPR akan memasuki masa reses pada 7 Juli 2022. DPR baru masuk kembali pada 16 Agustus 2022. “Kalau dilihat kurang dari 2 minggu masa reses, rasanya belum disahkan pada bulan Juli ini,” kata Eddy.
Pasal-pasal Pengancam Pers
Ika kemudian menjelaskan pasal-pasal di RKUHP, seperti pasal penghinaan presiden dan berita bohong, secara langsung berkaitan dengan kerja jurnalis. Ia mencontohkan pasal penghinaan presiden yang merupakan pasal warisan kolonial.
Padahal, kata dia, pasal ini sudah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi atau MK. "Secara eksplisit sudah menjelaskan kalau pasal ini tak lagi relevan dengan prinsip negara hukum, dapat mengurangi kebebasan," kata dia.
Akan tetapi di dalam RKUHP, pasal penghinaan presiden ini justru dimunculkan kembali. Ika kemudian mencontohkan kasus di tahun 2003, saat itu Redaktur Eksekutif Harian Rakyat Merdeka divonis 6 bulan penjara dengan masa percobaan 12 bulan dalam kasus pencemaran nama baik Presiden Megawati Soekarnoputri.
"Ini sudah ada presedennya," kata Ika. Bagaimana kemudian kritik di media massa, kemudian disalahgunakan menjadi pencemaran nama baik. Sehingga Ika menyebut tidak menutup kemungkinan kalau RKUHP ini disahkan, maka semakin banyak jurnalis yang divonis serupa.
Berikutnya yaitu pasal berita bohong, yang sangat rawan disalahgunakan pihak tertentu seperti polisi. Dua tahun terakhir, AJI mencatat berbagai kasus karya jurnalistik yang sudah melewati proses verifikasi yang ketat. Tapi kemudian justru dilabeli hoaks atau berita bohong oleh polisi.
"Bayangkan pasal ini masuk RKUHP, besok-besok akan semakin banyak berita yang muatan kritik, semakin mudah dilabeli hoaks," kata Ika.
Menerabas Kebebasan Pers
Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers Arif Zukifli menegaskan kembali prinsip dasar dari Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, bahwa pers tidak boleh dibredel dan diberi wewenang untuk mengatur dirinya sendiri. "Jadi self regulatory," kata Azul, sapaannya.
UU Pers, kata Azul, adalah satu-satunya UU tak punya turunan Peraturan Pemerintah hingga Peraturan Menteri (PM). Aturan turunan dari UU Pers diatur lewat Peraturan Dewan Pers, yang diatur oleh komunitas pers sendiri lewat konstituen yang bergabung di dalamnya.
Anggota Dewan Pers Arif Zulkifli dan Ahmad Djauhar menerima Livi Zheng dalam mediasi pemberitaan yang dimuat di situs Tirto.id dan Geotimes, Senin, 9 September 2019. Foto: Istimewa
Konsekuensi lain dari prinsip tersebut adalah UU Pers diberikan status lex specialis. Artinya, pers mengambil wewenang di dalam dirinya sendiri dan bisa mengabaikan aturan-aturan lain. "Sepanjang persoalan yang dipersoalkan ada di dalam aturan Dewan Pers," kata dia.
Azul mencontohkan persoalan masyarakat yang protes soal akurasi sebuah berita. Karya jurnalistik tersebut tidak dibawa ke polisi atau ke pengadilan, melainkan ke Dewan Pers untuk dimediasi.
Masyarakat yang mempersoalkan produk jurnalistik akan dimediasi dengan pers yang membuat karya. Hukumnya pun berupa etik, bukan pidana. "Saya kira itu prinsip dasar yang mesti kita tegaskan kembali," kata dia.
Sedangkan, kata dia, RKUHP yang hari ini dibahas adalah sebuah intervensi yang sangat serius terhadap kemandirian pers dan sifat lex spesialis UU Pers. "Ada sejumlah hal yang jika UU ini jadi disahkan, itu akan menerabas atau berpotensi mengancam kebebasan pers," kata dia.
Setali tiga uang dengan Ika, Azul mencontohkan berita yang tidak lengkap yang bisa ditafsirkan sebagai penyebaran berita bohong. Ia menjelaskan bahwa dalam proses liputan berita, berita lengkap itu tidak ada. "Kalaupun ada baru belakangan sekali," kata dia.
Sebab poin yang dikejar dan diupayakan pers adalah sebuah kebenaran jurnalistik, bukan kebenaran hukum. "Kebenaran jurnalistik beda dengan kebenaran hukum. Tujuannya untuk memberitahukan ke publik, bukan menghukum orang yang ditulis. Hukum pada orang ditulis itu bukan urusan pers," kata dia.
Menagih Draf Asli RKUHP