TEMPO.CO, Jakarta - International NGO Forum on Indonesian Development atau INFID merilis hasil sementara riset mengenai dukungan publik terhadap Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau UU TPKS.
Senior Program Officer INFID, AD Eridani mengatakan pihaknya melakukan dua riset, yaitu riset kualitatif tentang operasionalisasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan riset kuantitatif mengenai persepsi dan tingkat dukungan warga kepada UU TPKS.
“Di 2022 ini, kami berkolaborasi dengan Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) melakukan program bernama SETARA2030 karena basis INFID adalah lembaga advokasi kebijakan berbasis bukti,” katanya dalam keterangan tertulis, Selasa, 12 Juli 2022.
Penelitian dilakukan di 20 kota/kabupaten di 18 provinsi dengan total 1.200 responden. Kota dan kabupatennya dipilih berdasarkan penyebaran geografis, serta kasus kekerasan seksualnya dan merupakan domisili dari 84 persen penduduk di Indonesia. Riset ini menemukan lebih dari 50 persen responden mengetahui pengesahan UU TPKS dan 98 persen merasa bahwa UU TPKS dibutuhkan oleh masyarakat.
Menurut Ketua tim riset kuantitatif SETARA dari Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LDUI, Alfindra Primaldhi, dukungan terhadap UU TPKS sangat tinggi bahkan lebih dari setengah responden setuju dengan hukuman dalam UU TPKS. “Yang setuju pada rehabilitasi dan dihilangkannya proses damai juga tinggi, yaitu 75 persen. Kami bisa bilang UU TPKS sudah memenuhi kebutuhan masyarakat,” kata Alfindra.
Akan tetapi, menurut anggota tim riset kuantitatif SETARA juga Direktur IJRS, Dio Ashar, banyak responden yang keberatan soal poin kontrasepsi dalam UU TPKS. Implementasi kontrasepsi belum disosialisasikan dengan terang ke masyarakat. “Ini menjadi catatan bagi pemangku kebijakan soal bagaimana mengedukasi poin kontrasepsi dapat menjadi efektif dan terang di masyarakat,” katanya.
Tim riset kualitatif SETARA, Maidina Rahmawati, menilai capaian-capaian UU TPKS perlu diselaraskan dengan aturan lainnya. “Misalnya di Peraturan Kapolri 88/2021 masih mengizinkan adanya upaya mempertemukan pelaku dengan korban kekerasan seksual. Nah, dengan adanya UU TPKS maka sudah tidak bisa lagi dilaksanakan,” ujarnya.
Persoalan keadilan tidak hanya menyinggung isu kekerasan seksual, melainkan juga menyinggung masalah masyarakat sipil dan masyarakat adat. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum dan Pidana (RKUHP) dan RUU Masyarakat Adat memiliki keterkaitan secara tidak langsung.
“Saat ini kita diramaikan oleh proses RKUHP yang terkesan ngebut. Tapi yang sebenarnya penting adalah tidak soal semata-mata KUHP kita berubah, melainkan soal apakah substansinya memenuhi nafas demokrasi atau tidak,” kata Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu.
Dia berpandangan bahwa perubahan KUHP seharusnya benar-benar menegakkan perspektif dekolonialisasi. Sebab, KUHP adalah produk hukum pemerintah Hindia-Belanda yang sekarang usianya lebih dari 100 tahun.
Konteks hukum KUHP lahir dari situasi sosial hierarkis dan diskriminatif masa kolonialisme Hindia-Belanda. “Kalau kita merevisi KUHP tapi memelihara substansi lama dengan bentuk baru, maka kemajuan hukumnya di mana,?” kata Erasmus.
MUTIA YUANTISYA
Baca juga: Pemerintah Kebut Aturan Turunan UU TPKS Demi Mencegah Kasus Kekerasan Seksual