TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT) ditenggarai menggunakan dana sumbangan masyarakat untuk berbisnis. Hal ini diketahui setelah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melakukan penelusuran terhadap aliran dana di lembaga tersebut.
"Kami menduga ini merupakan transaksi yang dikelola dari bisnis ke bisnis, sehingga tidak murni menghimpun dana kemudian disalurkan kepada tujuan. Tetapi sebenarnya dikelola dahulu sehingga terdapat keuntungan di dalamnya," kata Ivan di kantornya, Jakarta Pusat, Rabu, 6 Juli 2022.
Ivan menjelaskan, setiap tahunnya jumlah uang sumbangan masyarakat yang dikelola ACT nilainya mencapai Rp1 triliun. Dana tersebut sebagian diputar untuk bisnis yang dimiliki oleh pendiri lembaga ACT.
"Ada beberapa PT di situ yang dimiliki langsung oleh pendirinya. Dan pendirinya termasuk orang yang terafiliasi karena menjadi salah satu pengurus (di ACT)," ujar Ivan.
Selain itu, ACT juga diketahui mengelola dana hasil sumbangan masyarakat untuk berbisnis di bidang kurban, wakaf, hingga investasi. Ivan mengatakan seluruh bisnis tersebut dikelola oleh anak yayasan ACT.
Ivan mengatakan pengelolaan dana sumbangan untuk berbisnis melanggar Peraturan Presiden nomor 18 Tahun 2017, tentang pengumpulan dan penyaluran dana publik untuk pemberian bantuan.
"Peraturan telah jelas mengatur setiap lembaga atau organisasi masyarakat (ormas) yang melakukan penghimpunan dan penyaluran sumbangan untuk melakukan prinsip-prinsip kehati-hatian dan harus dikelola secara akuntabel," ujar Ivan.
Atas dasar temuan itu, PPATK per hari ini membekukan 60 rekening milik ACT dan yayasan turunannya yang tersebar di 33 penyedia jasa keuangan. Saat ini PPATK masih melakukan pendalaman dan menganalisa aliran dana ACT dari dan menuju rekening luar negeri.
Baca juga: PPATK Ungkap Jumlah Dana yang Dikelola ACT Setiap Tahun Capai Rp 1 Triliun
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.