Azyumardi Azra sepakat jeda waktu usai Pilpres 2024 ini cukup lama. Keanehan yang terbentuk, kata dia, adalah Indonesia seakan memiliki dua presiden, yakni presiden yang masih menjabat dan presiden terpilih hasil pemilu.
Apalagi, lanjut Azyumardi, apabila pascapemilu terjadi gugatan hukum ke Mahkamah Konstitusi (MK), kemudian MK mengesahkan terpilihnya presiden dan wakil presiden hasil Pilpres 2024, maka legitimasi presiden terpilih menjadi lebih kuat lagi. Sebaliknya, untuk presiden yang sedang menjabat, akan semakin menjadi bebek lumpuh.
Situasi semacam itu, kata Azyumardi, akan mengakibatkan kevakuman pemerintahan selama delapan bulan, atau bisa juga berpotensi terjadi disorientasi pemerintahan. Namun, Azyumardi menyadari keputusan itu susah diubah. Sehingga hal tersebut menjadi pelajaran penting bagi para anggota parlemen hasil Pileg 2024.
Adapun pada Pilpres 2019, peralihan kekuasaan tidak berubah karena Jokowi terpilih untuk kedua kalinya. Tapi beda kondisi dengan Pilpres 2014, di mana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY digantikan oleh Jokowi yang berasal dari partai oposisi saat itu, PDI Perjuangan.
Saat itu, jeda waktu antara Pilpres dan pelantikan hanya berselang tiga bulan saja. Pilpres digelar 9 Juli 2014, lalu KPU menetapkan pasangan terpilih Jokowi - Jusuf Kalla sebagai pemenang pada 22 Juli 2014. Barulah, Jokowi dan Jusuf Kalla dilantik pada 20 Oktober 2014.
Kendati hanya terpaut tiga bulan, masalah terjadi terutama berkaitan dengan tim transisi. Kala itu, SBY menegur tim transisi pemerintahan Jokowi - Jusuf Kalla yang langsung masuk ke tiap kementerian tanpa ada koordinasi. Konsep transisi yang digadang, menurut SBY, tak berarti membuat ada dua pemerintahan bersama di masa peralihan kepemimpinan.
"Pemerintahan sekarang adalah pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II (KIB II) hasil Pemilihan Umum 2009. Sampai 20 Oktober 2014 yang berkaitan dengan pemerintahan adalah saya yang bertanggung jawab," kata SBY dalam rapat kabinet paripurna di Istana Presiden, Jumat, 5 September 2014.
Ia menyatakan pemerintahan KIB II memang berkomitmen membantu presiden terpilih memulai pemerintahan selanjutnya. Komitmen ini didasarkan pada pengalaman tak terjadinya transisi pemerintahan pada 2004 dari Megawati Soekarnoputri ke SBY. Namun, SBY tak setuju adanya proses transisi yang tanpa koordinasi.
Melalui Sekretaris Kabinet Dipo Alam, SBY saat itu meminta tim transisi Jokowi untuk berkoordinasi lebih dulu dengan Menteri Koordinator Perekonomian Chairul Tanjung, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto, dan Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi.
Koordinasi juga penting karena proses komunikasi yang terjadi antara tim transisi Jokowi dan kementerian selama ini menimbulkan banyak kebingungan dan salah paham. SBY mengklaim kerap mendapat aduan dari kementerian dan lembaga yang tak mengerti harus berbuat apa terhadap permintaan tim transisi.
SBY mengklaim, melalui pesan singkat, dia mendapat laporan dari anggota kabinet dan lainnya tentang undangan sejumlah tim yang mengatasnamakan tim transisi. Namun, materi dan pembahasan kurang relevan karena menjadi masalah pemerintahan KIB II. "Kalau membahas apa yang masih jadi tanggung jawab pemerintahan sekarang, berarti masih tanggung jawab saya. Ini kurang tepat," kata SBY.
FAJAR PEBRIANTO | ANT
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.