TEMPO.CO, Jakarta - Polisi menyelidiki laporan dugaan penipuan dan keterangan pemalsuan akta otentik dengan terlapor petinggi organisasi kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap atau ACT, yakni Ibnu Khadjar dan Ahyudin.
Pelapor kasus ini adalah perusahaan PT Hydro. Laporan tersebut terdaftar dengan nomor laporan polisi LP/B0373/VI/2021/Bareskrim tertanggal 16 Juni 2021.
"Masih penyelidikan," kata Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Andi Rian Djajadi di Jakarta, Selasa, 5 Juli 2022.
Laporan tersebut telah bergulir selama satu tahun, namun penyidik belum menemukan dugaan pelanggaran pidana seperti yang tertuang dalam laporan, yakni Pasal 378 dan 266 KUHP.
Menurut Andi, penyelidikan masih berlangsung untuk mencari fakta terhadap unsur pidana laporan tersebut. Bareskrim Polri juga sudah meminta klarifikasi dari sejumlah pihak, termasuk Ibnu Khadjar dan Ahyudin.
"Sedang dalam penyelidikan untuk mem-fakta-kan unsur pidana," tambahnya.
Andi menegaskan laporan tersebut bukan terkait penyelewengan ataupun penyalahgunaan dana umat yang dikelola ACT, melainkan terkait kerja sama dengan PT Hydro sebagai pelapor.
"Namun bukan terkait donasi, melainkan kerja sama dengan PT Hydro sebagai pelapor," katanya.
Dalam laporan Majalah Tempo disebutkan petinggi Aksi Cepat Tanggap ditengarai juga mendulang uang dari unit bisnis yang ada di bawah lembaga itu. Salah satunya berasal dari PT Hydro Perdana Retalilindo. Perusahaan yang mengelola jaringan minimarket Sodaqo Mart ini pernah berada di bawah Aksi Cepat tanggap sebelum aktanya diubah pada 5 Juni 2020.
Akta PT Hydro menyebutkan, semula 75 persen saham perusahaan itu atau setara dengan Rp 750 juta dikuasai PT Global Itqon Semensta. Sisanya dipegang Syahru Aryansyah yang menjabat Direktur Utama Hydro. Adapun 40 persen saham Global Itqon dimiliki Yayasan Aksi Cepat Tanggap. Sisanya dimiliki rata oleh saudara kandung ACT, yaitu yayasan Global Wakaf, Global Zakat, dan Global Qurban.
Ahyudin membantah jika Hydro dimiliki oleh ACT. "Itu hanya perusahaan yang bermitra dengan ACT," kata Ahyudin seperti dikutip dari Majalah Tempo.
Dalam dokumen yang didapat Tempo menunjukkan bahwa Ahyudin mendapat gaji dari PT Hydro senilai Rp 50 juta per bulan. Duit dari Hydro diduga juga diterima oleh seorang istri dan anak Ahyudin, masing masing senilai Rp 25 juta.
Direktur Utama PT Hydro Syahru Aryansyah menolak berkomentar soal laporan yang didapat Tempo. "Anda dapat dari mana data itu?" katanya pada Jumat, 1 Juli 2022. Meski membenarkan data yang ditunjukkan, ia meminta tempo menanyakan langsung kepada manajemen ACT.
Baca juga: Dugaan Penyelewengan ACT Didorong Jadi Momentum Perbaiki Regulasi Lembaga Filantropi