Perkara yang menjerat terdakwa Dwidjono bermula dari terbitnya Surat Keputusan Bupati Tanah Bumbu Nomor 296 Tahun 2011 tentang Persetujuan Pelimpahan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi PT BKPL kepada PT PCN pada Mei 2011. Padahal, peralihan IUP tidak dibolehkan karena menabrak ketentuan pasal 93 ayat 1 UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba.
Dwidjono mengaku diperintah oleh Bupati Tanah Bumbu, Mardani H Maming, untuk membantu peralihan IUP tersebut. Dwidjono mengaku dikenalkan kepada Henry Seotio selaku Dirut PT PCN oleh Mardani Maming di Jakarta pada awal 2011. Selain itu, Dwidjono berkata Bupati Mardani H Maming menandatangani lebih dahulu SK peralihan IUP dari PT BKPL ke PT PCN, lalu paraf menyusul setelahnya.
Kejaksaan Agung menetapkan Dwidjono Putrohadi Sutopo sebagai terdakwa atas dugaan suap yang disamarkan dalam bentuk hutang dari PT PCN senilai Rp 27,6 miliar. Uang sebanyak itu terdiri dari Rp 13,6 miliar di dalam ATM Bank Mandiri atas nama Yudi Aron, dan transfer ke rekening perusahaan PT BMPE Rp 14 miliar atas penjualan batu bara ke PT PCN.
Pihak Mardani sempat membantah soal adanya aliran dana tersebut. Dia menyatakan bahwa aliran dana dari PT PCN merupakan hasil dari kerjasama perusahaan keluarganya dengan perusahaan milik Henry Soetio itu. Selain itu, mereka juga sempat menyatakan bahwa keterangan Dwidjono berubah-ubah karena pernah menyatakan tak ada aliran dana kepada pria yang belakangan ditunjuk sebagai Bendahara Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tersebut.
Dalam perkembangannya, pihak Dwidjono melaporkan kasus ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK telah menetapkan Mardani H Maming sebagai tersangka. Selain itu, KPK juga mencekal adik dari Ketua Umum HIPMI tersebut, Rois Munandar. Mardani melakukan perlawanan atas penetapan statusnya sebagai tersangka dengan mengajukan praperadilan.