TEMPO.CO, Jakarta - Hoegeng Iman Santoso menjabat sebagai Kapolri pada 1968-1971. Meski tergolong singkat, Hoegeng jadi Kapolri yang banyak disukai masyarakat karena kejujuran dan integritasnya. Sebagai seorang Kapolri, Hoegeng tentu banyak berhubungan dengan para petinggi negeri, tak terkecuali Presiden Soeharto. Namun, hubungan Hoegeng dan Soeharto ternyata tidaklah harmonis.
Dikutip dari Majalah Tempo edisi 16-22 Agustus 2021, menurut anak Hoegeng, Aditya Sutanto, ketidakcocokan itu terjadi sejak Soeharto menduduki posisi Panglima Daerah Militer Diponegoro periode 1956-1959. Hoegang sendiri kala itu masih diamanahi sebagai Direktorat 2 Markas Besar Angkatan Kepolisian. Dalam sebuah kasus dugaan penyelundupan tekstil oleh warga negara India, istri Soeharto, Siti Hartinah, menjadi salah satu yang terseret kasus tersebut.
Hoegeng bercerita kepada Aditya bahwa Soeharto meminta istrinya dibebaskan. Ia bahkan menjanjikan membayar pajak barang-barang yang diseundupkan tersebut. Hoegung meladeni dan berkata akan melepaskannya jika Soeharto sudah memberikan bukti pembayaran serta memastikan uangnya masuk ke kas negara. Soeharto pun diduga tersinggung oleh jawaban Hoegeng.
Hubungan keduanya mengalami pasang-surut walaupun Soeharto melantik Hoegeng sebagai Kapolri pada 15 Mei 1968. Hal itu terlihat dalam kasus pemerkosaan Sumaridjem, penjual telur asal Yogyakarta atau yang lebih dikenal dengan kasus Sum Kuning. Ketika itu, Hoegeng telah membentuk tim khusus untuk mengusut kasus Sum Kuning. Hoegeng pun telah melaporkan kasus tersebut kepada Soeharto.
Namun, Soeharto justru mengoper perkara itu untuk ditangani Tim Pemeriksa Pusat (Teperpu)/Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, lembaga yang menangani kasus politik. Setelahnya kasus Sum Kuning pun perlahan menguap. Bahkan, Sumaridjem, sebagai korban malah dituntut tiga bulan penjara. Padahal, sebelumnya telah dicurigai bahwa pelaku pemerkosaan diduga berasal dari keluarga militer dan kerabat pejabat. Setelah melewati berbagai pertimbangan, hakim kemudian membebaskan Sumaridjem.
Klimaks ketidakharmonisan Hoegeng dan Soeharto terjadi ketika polisi menyelidiki kasus penyelundupan mobil mewah yang dilakukan pengusaha Robby Tjahjadi. Hoegeng mendapati Robby keluar dari ruang tamu rumah Soeharto ketika hendak melaporkan kasus tersebut. Ia pun batal menemui Soeharto.
Setelahnya, Soeharto menawari Hoegeng posisi duta besar untuk Belgia. Hoegeng menolak karena merasa tidak bisa menjadi diplomat. Namun ia bersedia diberi posisi apa pun di dalam negeri. Soeharto menyatakan tidak ada jabatan yang bisa diisi oleh Hoegeng. Hoegeng pun memutuskan untuk keluar. Pada 2 Oktober 1971, Hoegeng resmi menanggalkan posisinya sebagai Kapolri.
Pasca purnabakti, Soeharto tak pernah lagi mengundang Hoegeng ke acaranya. Bahkan, saat pernikahan Siti Hedianti, putri Soeharto, dengan Prabowo Subianto, Hoegeng tidak diperkenankan menampikan batang hidungnya. Mengutip dari buku Pak Hoegeng: Polisi Profesional dan Bermartabat, ayah Prabowo, Sumitro Djojohadikusumo, yang juga kawan Hoegeng, meminta dia tidak datang. Menurut Sumitro, Soeharto tidak ingin Hoegeng berada di acara itu.
HATTA MUARABAGJA
Baca juga: Kisah Kapolri Hoegeng Menolak Gratifikasi dari Istri Menteri hingga Cukong Medan