TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (DPN Permahi) menilai Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) saat ini masih sarat dengan pasal-pasal karet. Mereka menilai revisi tersebut masih terkesan otoriter dan lebih pro terhadap pemerintah ketimbang melindungi masyarakat.
Ketua Umum DPN PERMAHI Fahmi Namakule menyatakan bahwa berdasarkan hasil kajian mereka, masih terdapat sejumlah pasal karet yang berpotensi digunakan pemerintah untuk membungkam suara masyarakat.
"Kami menilai bahwa konstruksi redaksi yang tercantum dalam pasal-pasal tersebut mempunyai tafsiran yang sangat luas, yang dikhawatirkan suatu ketika pasal-pasal ini disahkan dan berlaku dapat dipergunakan oleh penguasa atau pejabat instansi pemerintahan yang sah saat dihadapkan dengan situasi darurat atas berbagai macam kritikan melalui aksi-aksi demonstrasi," kata Fahmi dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Jumat, 1 Juli 2022.
Hal itu, menurut Fahmi, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang menjamin hak masyarakat untuk bersuara.
"Konstitusi kita melegitimasi hak-hak asasi warga negara untuk berkumpul mengemukakan pikiran serta pendapat baik secara lisan maupun tilisan sebagai bentuk manifestasi kepedulian atas kondisi maupun situasi bangsa dan negara yang sedang dihadapi," kata Fahmi.
Fahmi pun memaparkan sejumlah pasal karet yang mereka anggap bermasalah, yaitu: Pasal 218 dan 291 yang mengatur bahwa setiap orang yang menyerang kehormatan atau harkat dan martabat Presiden atau Wakil Presiden dimuka umum baik secara langsung maupun melalui fasilitas digital dapat di pidana 3 - 4 tahun.
Lalu, ada Pasal 240 dan 241 mengatur penginaan terhadap pemerintahan yang dilakukan secara langsung ataupun menggunakan fasilitas digital di pidana 3 - 4 tahun penjara. Kemudian Pasal 273 tentang penyelenggaraan unjuk rasa atau demonstrasi tanpa pemberitahuan terlebih dahulu yang dilakukan ditempat umum dapat di pidana satu tahun penjara.
Selain itu seseorang dapat di pidana 1 - 2 tahun penjara, apabila melakukan penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara, baik secara lisan maupun tulisan sebagaimana dimaksud pada Pasal 353 dan 354.
Idealnya, menurut dia, RKUHP harus disesuaikan dengan politik hukum, dan kondisi masyarakat saat ini. Materi RKUHP juga dinilai harus mengatur keseimbangan berbagai aspek seperti kepentingan umum atau negara dan kepentingan individu, pelindungan terhadap pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana, dan lain sebagainya.
Fahmi pun menyerukan kepada seluruh Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PERMAHI di Indonesia untuk melakukan penolakan atas pasal-pasal karet dalam RKUHP tersebut. Selain itu, mereka juga meminta agar pengurus di tingkat daerah menggelar diskusi dengan DPRD dan pemerintah setempat untuk kemudian merekomendasikan hasil kajian atau diskusi yang dilakukan kepada DPR dan Pemerintah.
Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharief Hiariej sempat menyatakan bahwa pemerintah tak akan menghapus pasal soal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Dia menilai ada perbedaan besar antara kritik dengan penghinaan. Selain itu, menurut dia, pasal yang tercantum dalam draft RKUHP saat ini berbeda dengan pasal yang dianulir oleh Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu.
Perbedaannya adalah pasal dalam RKUHP menjadi delik aduan, bukan delik umum. Artinya presiden dan wakil presiden sendiri yang harus melaporkan hal itu kepada aparat kepolisian. Selain itu, dia juga menyatakan bahwa pasal penghinaan presiden tersebut harus tetap ada untuk menjaga harkat dan martabat pimpinan dan lembaga negara.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.