TEMPO.CO, Jakarta - DPR resmi mengesahkan tiga Rencangan Undang-Undang (RUU) Daerah Otonomi Baru Papua atau DOB Papua, yaitu Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah dalam rapat paripurna, Kamis, 30 Juni 2022. Pengesahan ini diwarnai konflik yang sudah terjadi di masyarakat, terutama terkait perebutan lokasi ibu kota Provinsi Papua Tengah.
"Baru saja ada ide untuk pemekaran otonomi baru, sudah ada konflik," kata pegiat kemanusiaan dari Gereja Kristan Injil (GKI) Tanah Papua, Pendeta Dora Balubun, dalam konferensi pers, pada hari yang sama.
RUU DOB menetapkan Nabire menjadi ibu kota Papua Tengah. Akan tetapi, sebagian masyarakat dan kepala daerah setempat meminta agar Timika-lah yang menjadi ibu kota. Aksi protes masyarakat pun dikabarkan terjadi di lapangan.
Tak hanya itu, Dora menyebut ada juga sebagian masyarakat adat Nabire yang tak ingin daerahnya jadi ibu kota provinsi.
"Mereka masih mau bergabung dengan Saerei, itu berarti bergabung dengan Biak dan Yapen Waropen," kata dia.
Sementara, ada lagi sebagian masyarakat adat yang meminta agar wilayah mereka tetap bergabung dengan Provinsi Papua. Dora pun menyebut semua hal ini bisa menyebabkan konflik kembali.
"Kasihan masyarakat yang menonton situasi ini.
Masalah perebutan lokasi ibu kota ini juga disadari oleh Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia. Saat kunjungan Panja Komisi II DPR ke Jayapura, 25 Juni lalu, Doli meminta ada musyawarah penentuan lokasi ibu kota untuk menghindari adanya pecah belah.
"Jadi apapun yang dihasilkan serta direkomendasikan oleh masyarakat Papua maka pasti akan kami terima. Jadi kita mendorong penyelesaiannya secara musyawarah mufakat,” kata politikus Partai Golkar ini.
Hal yang menjadi kekhawatiran Dora dalah ketika nantinya konflik terjadi, apakah pemerintah pusat dan DPR akan datang ke Papua untuk segera menyelesaikannya.
Selanjutnya, Kekhawatiran Penambahan Militer