TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Jokowi ke Rusia dan Ukraina untuk membuka ruang dialog pada kedua negara agar menghentikan peperangan. Namun Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Indonesia Evi Fitriani mengatakan Indonesia sejatinya tidak punya kekuatan untuk bisa memaksa Rusia dan Ukraina yang tengah berperang untuk berdamai.
"Apa sih yang kita tawarkan?" kata Evi saat dihubungi, Senin, 27 Juni 2022.
Biasanya, kata dia, negara penengah perang mempunyai carrot and stick alias mekanisme hukuman dan hadiah. Evi mencontohkan Amerika Serikat yang bisa menekan dengan memberikan bantuan ekonomi agar dua negara tertentu bisa berhenti bertikai.
Sedangkan Indonesia saat ini dinilai tak punya uang dan tak punya senjata untuk memaksa kedua negara Eropa Timur itu berhenti berperang. "Masa kita mau kasih bantuan ekonomi? jadi secara materi kita itu enggak kuat, pendamai itu harus punya modal, Indonesia enggak punya," kata Evi.
Sebelumnya, rencana kunjungan Jokowi ke Rusia dan Ukraina akhir bulan ini disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi Menurut dia, misi lawatan Jokowi ke dua negara yang sedang berselisih ini adalah untuk terus mendorong semangat perdamaian.
Sebagai presidensi G20 dan anggota Champion Group from Global Crisis Response Group yang dibentuk Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB, kata Retno, Jokowi memilih untuk berkontribusi dalam masalah geopolitik ini.
Retno mengatakan, kunjungan presiden menunjukan kepedulian terhadap isu kemanusiaan. Presiden juga akan mencoba memberikan kontribusi menangani isu pangan.
"(Masalah itu) diakibatkan karena perang, dampak dirasakan semua negara terutama negara berkembang dan penghasilan rendah. Dan (presiden akan) terus mendorong spirit perdamaian," kata Retno dalam jumpa pers virtual Kementerian Luar Negeri Rabu, Rabu, 22 Juni 2022.
Meski tak punya kekuatan uang dan senjata untuk mendamaikan Rusia dan Ukraina, Evi menyebut Indonesia masih memiliki soft power untuk meyakinkan keduanya. Ia menyebut Indonesia punya kredibiilitas untuk hal itu. "Jadi yang kita tawarkan makna simbolik dari kehadiran (Presiden) itu," ujarnya.
Indonesia, kata Evi, memiliki kekuatan moral mengatasnamakan masyarakat dunia bahwa dunia sedang sengsara atas peperangan yang terjadi karena imbasnya ke sejumlah aspek seperti pangan. Jokowi pun bisa memberikan pemahaman tersebut kepada kedua pemimpin negara.
Sejalan dengan itu, Evi menilai Jokowi pun bisa memanfaatkan ini sebagai tawaran exit strategy kepada Presiden Rusia Vladimir Putin. Lantaran, kelanjutan perang ini dinilai tergantung pada Rusia yang kini terus menekan. Sedangkan, Evi melihat perang terus berlangsung karena Rusia saat ini tak punya exit strategy untuk menghentikannya. "Dia (Rusia) mau berhenti apa alasannya? kehilangan muka dong?" kata Evi.
Maka, exit strategy inilah yang dinilai Evi bisa ditawarkan Jokowi dalam kunjungan ke Rusia dan Ukraina ini. Indonesia tidak mewakili pihak kiri dan kanan, sehingga bisa menjadi kekuatan moral tersendiri untuk membantu menghentikan perang. "Selama ini strategi Indonesia juga tidak mengecualikan Rusia, dengan tujuan Rusia tetap melihat Indonesia sebagai teman, Ukraina juga lihat kita sebagai teman," ujarnya.