TEMPO.CO, Jakarta - Haji Abdul Malik Karim atau Buya Hamka merupakan sosok yang dikenal sebagai seorang ulama, sastrawan, sekaligus politikus Indonesia. Sebagai wartawan, Buya Hamka pernah mendirikan sejumlah media. Sedangkan sebagai sastrawan, karyanya yang terkenal adalah Di Balik Lindungan Kabah dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck.
Namun, karier Buya Hamka kurang moncer di jalur politik. Bahkan, Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Partai Masyumi yang diikuti Buya Hamka menjadi sebab ketidakharmonisan hubungannya dengan Presiden Soekarno kala itu. Pasalnya, Masyumi mengkritisi sistem demokrasi terpimpin yang diusung Soekarno kala itu.
Soekarno Meminta Buya Hamka Menyalatkannya Jika Ia Meninggal
Bahkan kemudian, Buya Hamka dituduh berencana menggulingkan pemerintahan bahkan berencana membunuh Soekarno, sehingga ia diciduk dari rumahnya ke tahanan Sukabumi pada 27 Januari 1964, saat puasa Ramadan. Saat itu ia baru pulang memberikan pengajian mingguan di Masjid Al-Azhar.
Buya Hamka sempat dipenjara selama dua tahun empat bulan atas perintah Soekarno, tanpa pengadilan yang semestinya. Buku-bukunya dilarang terbit dan diedarkan. Menjelang berakhirnya kekuasaan Soekarno, barulah Buya Hamka dibebaskan pada Mei 1966.
Kendati Soekarno adalah sosok dibalik Buya Hamka dijebloskan ke bui, Buya Hamka-lah yang menyalatkan jenazah Soekarno sebelum dikebumikan. Kisah itu diceritakan ulang oleh Irfan Hamka, anak Buya Hamka dalam buku memoar tentang Hamka berjudul Ayah… Kisah Buya Hamka (2013). Sekitar empat tahun berselang setelah dibebaskan dari penjara, tepatnya pada 16 Juni 1970, Buya Hamka dihubungi oleh ajudan Presiden Soeharto, Mayjen Soeryo.
Soeryo saat itu datang ke rumah Buya Hamka membawa pesan dari keluarga Soekarno untuknya. Rupanya, pesan itu merupakan pesan terakhir dari Soekarno, yang berisikan permintaan agar Buya Hamka menjadi imam salat jenazahnya. “Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam salat jenazahku. Demikian kurang lebih pesan Soekarno kepada keluarganya,” tulis Irfan.
Rupanya Buya Hamka tidak mengetahui bahwa Soekarno telah wafat. Menerima pesan tersebut, Hamka lalu bertanya kepada Soeryo, “Jadi beliau sudah wafat?” “Iya, Buya. Bapak Soekarno telah wafat di RSPAD, sekarang jenazahnya telah dibawa ke Wisma Yaso,” jawab Soeryo. Tanpa berpikir panjang, Buya Hamka langsung bergegas menuju Wisma Yaso. Di sana, telah banyak pelayat berdatangan, antara lain Presiden Soeharto dan beberapa pejabat tinggi.
Hamka dengan mantap menjadi imam salat jenazah Soekarno. Dengan ikhlas, ia menunaikan pesan terakhir Soekarno, mantan presiden yang telah memenjarakannya. Buya Hamka tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakitinya. Sebab, menurutnya dendam itu termasuk dosa. “Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa itu semua merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Alquran 30 juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk menyelesaikan pekerjaan itu,” kata Buya.
Padahal, selama di penjara, Buya Hamka tidak dapat menafkahi keluarganya. Sebab, selama dikurung di tahanan, Buya Hamka tidak dapat menghadiri undangan berdakwah. Padahal, dari sanalah Buya Hamka mendapatkan rezeki untuk menghidupi keluarga. Dalam bukunya, Irfan menuliskan, bahkan selain dipenjarakan, sejumlah buku karangan Buya Hamka juga dilarang terbit dan beredar. Sehingga tidak ada juga pemasukan dari penjualan buku-buku.
Irfan menuliskan, ibundanya terpaksa menjual barang dan perhiasan demi menyambung hidup karena pemasukan uang terhenti. “Dengan ditahannya Ayah, otomatis ia tidak bisa lagi memenuhi undangan untuk berdakwah. Padahal selama ini, dari sanalah rezeki Allah mengalir untuk kehidupan keluarga,” tulis Irfan. Setelah bebas, Buya Hamka pun kembali melakukan kegiatan seperti sebelum ia ditahan.
HENDRIK KHOIRUL MUHID
Baca: 40 Tahun Kepergian Buya Hamka: Ulama, Sastrawan, Politisi dan Ketua MUI Pertama
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.