TEMPO.CO, Jakarta - Presiden dan para pemangku kewajiban lagi-lagi didorong untuk melakukan upaya perlindungan hak kesehatan anak dengan segera menyelesaikan dan melakukan pengesahan terhadap proses Revisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Desakan ini dilakukan oleh Yayasan Lentera Anak (Lentera Anak Foundation).
"Proses revisi itu sudah sangat lama, dari tahun 2018, sampai sekarang sudah 5 tahun. Dan itu tidak ada progres." kata Ketua Yayasan Lentera Anak, Lisda Sundari, saat melakukan diskusi virtual bersama Tempo, Kamis, 23 Juni 2022.
Pemberlakuan revisi terhadap PP 109/2012 dinilai Lisda akan sangat membantu untuk melindungi anak-anak terutama dari kenaikan perokok anak.
Ia mengatakan mengonsumsi rokok bukan hanya sebatas membahayakan kesehatan, tetapi juga mempengaruhi kehidupan ekonomi bagi keluarga.
Mengutip data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Lisda mengatakan, perokok dari keluarga miskin menaruh pembelian rokok menjadi hal kedua yang harus dibeli setelah beras.
Hal itu tentu mempengaruhi perkembangan anak dari segi pemenuhan pendidikan yang layak dan pemenuhan makanan sehat.
"Jadi ini sangat berhubungan erat masalah konsumsi rokok dengan pemenuhan hak dan perlindungan anak-anak di Indonesia," ujarnya.
"Karena mereka melihat orang-orang dewasa merokok yang harusnya menjadi role model mereka," tambah Lisda.
Lisda menjelaskan terdapat beberapa substansi diangkat pada revisi PP 109/2012 yang sudah tidak mengakomodasi dinamika persoalan rokok saat ini dan perlu segera mendapatkan perbaikan.
Pertama pengendalian terhadap iklan rokok di tempat perbelanjaan maupun internet yang semakin marak. Bahkan, tayangannya pun tidak ada batasan waktu.
"Di Indonesia tidak ada peraturan tentang itu, kalau di TV dan di media cetak itu ada Undang-Undang Penyiaran atau Undang-Undang Pers kan," ujarnya.
Kedua mengenai perluasan besar peringatan kesehatan bergambar pada bungkus rokok (PHW) dari yang hanya sebesar 40 persen pada bungkus di bagian belakang dan bagian depan menjadi 90 persen. Besaran PHW 40 persen dinilai terlalu kecil dibanding standard Internasional yang angka efektifitas minimumnya besaran di 80 persen.
"Perluasan kesehatan peringatan kesehatan bergambar dari 40 menjadi 90%, jadi dibesarkan. Karena yang efektif itu minimal 80%," ujar Lisda.
Ketiga, peringatan rokok elektronik dan tembakau yang dipanaskan. Data menunjukan penggunanya semakin meningkat, padahal bahayanya sama saja. Menurut data terjadi peningkatan hingga sepuluh kali lipat terhadap pengguna rokok elektronik, dari 0,3 persen menjadi 3 persen. Keempat, larangan penjualan batangan dan penguatan pengawasan.