TEMPO.CO, Banjarmasin - Eks Bupati Tanah Bumbu Mardani H Maming disebut dua kali menandatangani pengalihan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Hal itu terungkap dalam sidang vonis dugaan korupsi eks Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Tanah Bumbu, Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin, Rabu, 22 Juni 2022.
Dalam sidang, majelis hakim menyebutkan Dwidjono dua kali membantu peralihan IUP batu bara milik almarhum Henri Seotio yang menjadi Direktur PT Prolindo Cipta Nusantara (PCN) dan PT Lestari Cipta Persada (LCP).
Selain membantu peralihan IUP PT PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL) ke PCN yang menjadi perkara di Pengadilan Tipikor Banjarmasin, Dwidjono disebut ikut membantu pelimpahan IUP PT Asri Mining Resource (AMR) kepada PT Lestari Cipta Persada (LCP) pada 2014. Hal itu menjadi masalah karena IUP sejatinya tidak boleh dialihkan.
Majelis hakim dalam pertimbangannya menyatakan Henri Seotio pernah mengajukan permohonan pelimpahan IUP Operasi Produksi PT Asri Mining Resource (AMR) kepada PT Lestari Cipta Persada (LCP) pada 2014. Mardani H Maming disebut sebagai orang yang memperkenalkan Henri Soetio kepada terdakwa Dwidjono pada 2011. Mardani juga disebut menandatangani Surat Keputusan peralihan IUP dari AMR ke LCP.
“Pada tahun 2014 Henri Soetio juga mengajukan permohonan IUP Operasi Produksi PT Asri Mining Resource kepada PT Lestari Cipta Persada. Atas rekomendasi terdakwa, menjadi dasar diterbitkannya Surat Keputusan Bupati Tanah Bumbu tentang Pelimpahan IUP OP PT Asri Mining Resource kepada PT Lestari Cipta Persada,” kata hakim anggota Arif Winarno.
Pengacara Dwidjono, Lucky Omega Hasan, menyatakan kliennya menerbitkan rekomendasi peralihan kedua IUP itu atas perintah Mardani yang juga merupakan Ketua DPD PDIP Kalimantan Selatan.
“Semua tindakan tersebut atas perintah dari MHM. Jadi tidak mungkin terdakwa bertindak sendiri,” kata Lucky.
Hakim Ketua Yusriansyah menyatakan terdakwa Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi, dan pencucian uang sebagaimana dakwaan pertama kesatu dan kedua primer.
Dwidjono dianggap bersalah mengeluarkan rekomendasi pengalihan IUP tersebut. Akan tetapi hakim menilai aliran dana dari Henri ke Dwidjono bukan sebagai suap. Dalam sidang, Christian Soetio, adik Henri, menyatakan aliran dana sebesar Rp 13,5 miliar ke Dwidjono merupakan utang yang telah diselesaikan pembayarannya.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa selama dua tahun dan denda sebesar Rp 500 juta, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti pidana kurungan selama empat bulan,” kata Yusriansyah saat membacakan putusan.
Putusan majelis hakim lebih rendah dari tuntutan JPU yang menuntut terdakwa Dwidjono selama lima tahun penjara dan denda Rp 1,3 miliar, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, maka diganti kurungan badan selama satu tahun.
Selain itu, terdakwa Dwidjono dibebaskan dari kewajiban membayar uang pengganti, menetapkan masa penahanan terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan, dan menetapkan terdakwa tetap dalam tahanan. Majelis hakim turut menyita sebagian barang bukti untuk negara, dan sebagian dikembalikan kepada keluarga terdakwa.
Atas putusan ini, Yusriansyah mempersilakan pihak JPU dan terdakwa Dwidjono mempertimbangkan apakah menerima atau banding dalam kurun waktu satu pekan, sejak putusan diketuk hari ini.
Kasus peralihan IUP BKPL ke PCN ini sempat dilaporkan pihak Dwidjono kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam laporannya, Dwidjono membeberkan peran Mardani H Maming. Mereka menyatakan bahwa Bendahara Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulamah (PBNU) itu yang menerima aliran dana dari PT PCN mencapai Rp 89 miliar. KPK pun telah meminta Ditjen Imigrasi untuk mencekal Mardani ke luar negeri dengan statusnya sebagai tersangka. Pihak Mardani pun membantah tudingan tersebut.
Baca: Mantan Anak Buah Mardani H Maming Divonis 2 Tahun Penjara