TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyebut hukuman bagi Hafidz Mulky, guru agama yang menjadi terpidana kasus pencabulan di Lampung, bisa diperberat menjadi maksimal 20 tahun. Sehingga hukuman bagi guru cabul ini bisa dua kali lipat dibandingkan vonis yang baru saja dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Lampung, yaitu 10 tahun.
"Karena pelaku adalah orang terdekat korban. Guru yang seharusnya melindungi anak, namun justru menjadi pelaku pidana anak," kata Komisioner KPAI Retno Listyarti dalam keterangan tertulis, Sabtu, 18 Juni 2022.
Ketentuan ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang tuntutan hukumannya 5-15 tahun. Namun karena pelaku adalah orang terdekat korban, kata Retno, maka hukuman bisa diperberat atau ditambah sepertiganya.
Namun, kata Retno, KPAI tetap menghormati keputusan hakim atas vonis 10 tahun ini, meskipun lebih rendah dari tuntutan jaksa Yetty Munira yaitu 12 tahun penjara. "Jika tidak puas atas putusan tersebut, jaksa penuntut umum (JPU) dapat melakukan banding," ujarnya.
Kasus ini bermula pada tanggal 7 Maret 2022. Saat itu terpidana mengintimidasi muridnya dengan cara mengancam akan melaporkan perbuatan atau kenakalan muridnya dan berdalih bisa dikeluarkan dari sekolah. Sang murid pun tak berdaya hingga untuk disetubuhi. Kemudian perbuatan tersebut kembali dilakukan terpidana pada tanggal 10 Maret 2022 hingga akhirnya perbuatan tersebut dilaporkan dan Hafidz ditangkap Polresta Bandarlampung.
Pada Rabu kemarin, 15 Juni, majelis hakim PN Tanjung Karang membacakan vonis untuk Hafidz. "Menjatuhkan hukuman kepada terdakwa selama sepuluh tahun," kata Ketua majelis hakim Yusnawati, dikutip dari Antara.
Selain menjatuhkan hukuman kurungan penjara, hakim Yusnawati juga menjatuhkan denda kepada terdakwa sebesar Rp 100 juta subsider kurungan penjara selama enam bulan. "Jika tidak bisa membayar denda maka diganti dengan kurungan penjara selama enam bulan," kata dia.
Menurut Yusnawati, putusan yang telah dijatuhkan kepada Hafidz telah sesuai dengan apa yang dilakukannya. Yusnawati juga menyebut putusan yang telah dijatuhkan kepada Hafidz telah ditambah sepertiga lantaran terdakwa merupakan seorang guru saat melakukan perbuatannya.
Retno Listyarti berujar sebenarnya sudah ada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan. Dalam beleid tersebut, sekolah diwajibkan memiliki sistem pencegahan kekerasan, baik kekerasan fisik, kekerasan psikis maupun kekerasan seksual. "Berupa pembentukan satgas anti kekerasan dan sistem pengaduan yang melindungi saksi dan korban," kata Retno.
Kalau SMP negeri tempat guru cabul mengajar tidak membangun sistem tersebut, kata Retno, maka kemungkinan di sanalah kecolongan terjadi. Tak sampai di situ, Retno juga menyebut beleid ini telah memberikan amanat pencabutan sertifikat pendidik bagi pendidik yang terbukti di pengadilan melakukan tindak pidana dengan hukuman 4 tahun ke atas.
Baca Juga: KPAI Kawal Kasus Pelecehan Seksual Anak di Panti Asuhan Depok
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini