TEMPO.CO, Jakarta -Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan resmi dilantik Presiden Joko Widodo atau Jokowi sebagai Menteri Perdagangan (Mendag) menggantikan Muhammad Lufti pada Rabu, 15 Juni 2022 yang artinya membawa secara resmi gerbong baru ke koalisi.
PAN sendiri bergabung dengan koalisi partai politik pendukung Jokowi pada 2021 lalu. Hal ini ditandai dengan hadirnya PAN dalam rapat pimpinan partai koalisi bersama Jokowi pada Rabu, 25 Agustus 2021.
Membahas soal koalisi, pembentukan koalisi maupun oposisi partai politik sebenarnya hanya terdapat dalam sistem pemerintahan parlementer. Keduanya menjalankan fungsi pengawasan dan penyeimbangan atau check and balances.
Koalisi berwenang membentuk kabinet untuk menjalankan pemerintahan. Sementara oposisi berwenang menjalankan fungsi pengawasan terhadap kabinet bentukan koalisi.
Lalu, bagaimana sistem koalisi dan oposisi ini dapat diterapkan di negara dengan sistem pemerintahan presidensial, seperti Indonesia?
Menurut Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar atau UUD 1945, Indonesia menganut sistem multipartai.
Dikutip dari jurnal Universitas Sebelas Maret, berdasarkan hasil kajian Garda Bangsa, secara teori, sistem presidensial dianggap tidak kompatibel dengan sistem kepartaian majemuk atau multipartai.
Alasannya, karena ketiadaan partai mayoritas di badan legislatif, sistem multipartai memungkinkan adanya koalisi pemerintahan. Padahal koalisi sendiri seharusnya hanya terdapat di sistem parlementer.
Lalu apa kekurangan penerapan koalisi dan oposisi di pemerintahan presidensial?
Penerapan sistem koalisi dan oposisi dapat menyebabkan terjadinya kompromi kekuasaan antara Presiden dengan koalisi pendukung. Koalisi juga dapat mempengaruhi keputusan pemerintah. Sehingga roda pemerintahan kurang efektif.
Berikutnya: Multipartai dapat menimbukan pengkotak-kotakan