Polisi dan tentara, kata Sagom pada dasarnya berasal dari satu rumah. Jika diibaratkan sebuah keluarga maka polisi adalah saudara bungsu tentara. “Ibaratnya dia anak ke-empat, anak yang paling kecil,” ujarnya. Kondisi inilah yang akan menimbulkan masalah psikologis jika kemudian polisi diberi kewenangan menyidik tentara dalam kasus-kasus pidana umum.
Lebih lanjut Sagom menjelaskan bahwa masalah psikologis ini bukan sesuatu yang direka-reka. Sebab secara institusi TNI bisa menerima bila memang undang-undang menentukan tentara harus disidik polisi. “Tapi perorangan di tentaralah yang belum bisa menerima itu,” ujar Sagom.
Sagom tak menolak jika tentara juga warga Negara Indonesia, namun tentara memiliki tugas khusus. “Tentara mengemban tugas yang tidak sama dengan warga negara lain, kami adalah alat pertahanan negara,” ujarnya. Dengan tugas khusus inilah maka dalam bidang penegakan hukumpun tentara memiliki polisi yang berbeda dengan sipil yaitu polisi militer. “Merekalah yang mendisiplinkan dan menyidik tentara jika ada kesalahan yang dilakukan tentara”.
Baca Juga:
Dalam penegakan hukum berikut sanksinya, lanjut Sagom tentara bahkan mendapatkan hukuman yang lebih berat dari sipil. “Selain hukuman fisik/penjara mereka juga mendapat hukuman administratif,” ujarnya. Karena itu Sagom mempertanyakan bagaimana menjalankan hukuman administratif yang contohnya pencopotan ini jika tentara dibawa ke peradilan sipil. “Hakim atau jaksanya kan tidak berwenang mencopot”.
Alasan ini, kata dia bukanlah sekedar alasan karena tentara meminta kekebalan. “Sebagai tentara kami selalu siap menjalankan keputusan pemerintah,” ujarnya. Tapi kalau tentara harus berada di dua peradilan, menurut Sagom itu mengada-ada. Sagom juga mempertanyakan posisi polisi militer jika RUU Peradilan Militer benar-benar disahkan. “Apa harus hilang, lalu bagaimana dengan struktur tentara kita. Polisi militer itu ka nada dalam system ketentaraan dinegara manapun didunia”.
TITIS SETIANINGTYAS