TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, Indira Suryani, menjadi korban kasus dugaan sertifikat vaksin fiktif. Ia belum mengikuti vaksin booster, tapi sudah menerima sertifikat di aplikasi PeduliLindungi miliknya.
"Saya dan suami, lalu beberapa teman wartawan, ada lima orang yang saya tahu (jadi korban)," kata Indira saat dihubungi, Rabu, 8 Juni 2022.
Indira bercerita kalau dirinya positif Covid-19 pada Maret lalu, kala ingin mengikuti vaksinasi booster. Walhasil, Indira harus menunggu 3 bulan dulu sebelum bisa disuntik vaksin.
Tapi akhir April, Indira dan suami tiba-tiba sudah menerima sertifikat vaksin booster di aplikasi PeduliLindungi yang tertera berasal dari Polkes Polri. Sementara beberapa teman yang lain, kata dia, juga dapat sertifikat vaksin fiktif dari Polres, seperti Polres Payakumbuh.
Indira sama sekali tak mengenal Polkes Polri, lantaran dirinya dan sejumlah pegiat NGO di Sumatera Barat ikut vaksin pertama dan kedua di RSUP M. Djamil, Padang.
Indira belakangan mengetahui kalau bukan dirinya saja yang menjadi korban, saat melakukan pendampingan hukum di Ombudsman Sumatera Barat. Sebab, laporan atas kejadian ini juga diterima Ombudsman. Tempo mengkonfirmasi kepada Kepala Ombudsman perwakilan Sumatera Barat, Yefri Heriani, tapi belum direspons.
Indira tak tahu kenapa datanya bisa bocor dan akhirnya menjadi korban sertifikat vaksin fiktif. Ia menduga bisa dari kebocoran data di aplikasi PeduliLindungi, ataupun dari datanya yang bocor di kantor polisi. "Bisa saja, surat kuasa (pendampingan hukum) aku banyak di situ," kata dia.
Kini, Indira sudah sembuh dari Covid-19 dan ingin mengikuti vaksinasi booster. Ia berencana menanyakan ini ke petugas kesehatan. "Bisa nggak aku vaksin, takutnya nggak bisa karena sudah terima sertifikat vaksin ketiga," ujarnya.
Tempo mengkonfirmasi kejadian ini pada Kepala Bidang Humas Polda Sumatera Barat, Komisaris Besar Satake Bayu, tapi belum ada respons.
Selanjutnya: Penjelasan Kemenkes soal masalah sertifikat vaksin...