KontraS, kata Rivanlee, tidak menginginkan penghilangan paksa yang dialami keluarga Tuti Koto dan Rosmawati kembali. Penghilangan paksa bukan hanya terjadi di masa lalu, tapi masih dan dapat kembali terjadi di masa depan.
Menurut Rivanlee, mereka adalah anak, kakak, atau ayah dari keluarga yang terus menunggu kabar selama bertahun-tahun. Kepastian korban meninggal atau masih hidup masih dinantikan. “Salah seorang ibu, Tuti Koto, hingga akhir hayatnya pada 5 November 2012 tidak pernah mendapat kepastian atas nasib anaknya, Yani Afri,” katanya.
Dan juga Rosmawati Ginting, adik dari Ruth Sitepu salah seorang korban penghilangan paksa juga mengalami hal yang sama. Sudah lima tahun, tidak ada kontak.
“Untuk mencegah berulangnya kejahatan itu dan menjamin adanya perlindungan hukum dari Negara, diperlukan pengesahan Konvensi Internasional Anti Penghilangan Paksa,” tutur dia,
Konvensi ini, Rivanlee berujar, melarang segala penahanan yang dilakukan rahasia. Negara harus menjamin adanya sejumlah standar hukum minimum terkait perampasan kemerdekaan.
Selain itu, konvensi mewajibkan agar setiap mereka yang hilang harus dicari dan keadilan harus ditegakkan. Termasuk pencarian dan investigasi yang melibatkan kerja sama dari negara-negara lain. “Dengan demikian konvensi ini mendesak dan penting diratifikasi bukan hanya bagi keluarga korban, tapi seluruh bangsa Indonesia,” ujarnya.
Stagnasi Ratifikasi selama 13 Tahun