TEMPO.CO, Jakarta - Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengkritik rapat pembahasan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) antar pemerintah dan Komisi Hukum DPR. Aliansi kecewa karena DPR tidak kritis dan tidak berkomitmen memeriksa secara presisi draf yang diubah pemerintah.
Padahal, pemerintah melakukan perubahan terhadap rumusan RKUHP, di luar isu-isu kontroversial yang dilaporkan dalam rapat. Selain itu, DPR juga dinilai tidak mempertanggungjawabkan kerja-kerja pemerintah sejak September 2019 sampai Mei 2022 ini.
"Hal ini menandakan hilangnya fungsi DPR yang perlu mengawasi kerja kerja pemerintah," demikian keterangan resmi aliansi pada Kamis, 26 Mei 2022.
Penundaan dari Jokowi
Sebelumnya, RKUHP ini sudah disetujui di rapat tingkat I pada 2019 dan siap ketuk palu di paripurna. Tapi pada 20 September 2019, Presiden Joko Widodo atau Jokowi meminta DPR menunda pengesahan karena menilai masih ada pasal yang harus dikaji ulang. "Saya lihat materi yang ada, substansi yang ada kurang lebih 14 pasal," kata Jokowi saat itu.
Sehari kemudian, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengklarifikasi pasal bermasalah tersebut. Daftarnya yaitu:
1. Pasal 218 tentang Penghinaan Presiden
2. Pasal 278 tentang Pembiaran Unggas Masuk ke Kebun Orang Lain
3. Pasal 414 tentang Mempertunjukkan Alat Kontrasepsi
4. Pasal 417 tentang Perzinaan
5. Pasal 418 tentang Kohabitasi
6. Pasal 431 tentang Penggelandangan
7. Pasal 469 tentang Aborsi
8. Pasal 603 tentang Tindak Pidana Korupsi
Karena pengesahan di paripurna ditunda, maka DPR dan pemerintah sepakat untuk melakukan sosialisasi atas RKUHP yang sudah disepakati di tingkat I. Pada 6 Mei 2022, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej menyebut sosialisasi akan dilakukan di 12 kota di Tanah Air.
Pasal Kontroversial Dibahas Lagi
Lalu kemarin, Rabu, 25 Mei 2022, rapat pembahasan RKUHP kembali digelar antara Komisi Hukum DPR dan pemerintah. Rapat bertujuan untuk mendengar hasil sosialisasi yang dilakukan pemerintah tersebut. "Ada yang kami hapus, kami sesuaikan dengan putusan MK (Mahkamah Konstitusi)," kata Edward dalam rapat.
Selain itu, ada juga pasal yang tetap hingga pasal yang mengalami reformulasi tanpa menghilangkan substansi. Edward menyebut pihaknya hanya melakukan penghalusan terhadap bahasa yang ada.
Kemudian dalam rapat, Edward pun melaporkan perubahan yang terjadi usai sosialisasi di masyarakat atas draf RKUHP. Daftarnya lebih banyak dari yang dilaporkan Yasonna pada 2019 lalu saat penundaan, yaitu sebagai berikut:
1. Pasal 2 tentang The Living Law atau Hukum Pidana Adat
2. Pasal 108 tentang Pidana Mati
3. Pasal 218 tentang Penghinaan Presiden
4. Pasal 252 tentang Orang yang Menyatakan Dirinya Punya Kekuatan Gaib.
5. Pasal 276 tentang Izin Praktik Dokter atau Dokter Gigi
6. Pasal 278-279 tentang Pembiaran Unggas Masuk ke Kebun Orang Lain
7. Pasal 281 tentang Contempt of Court
8. Pasal 304 tentang Penodaan Agama
9. Pasal 342 tentang Penganiayaan Hewan.
10. Pasal 414-416 tentang Mempertunjukkan Alat Kontrasepsi
11. Pasal 431 tentng Penggelandangan
12. Pasal 469-471 tentang Aborsi
13. Pasal 417 tentang Perzinaan
14. Pasal 418 tentang Kohabitasi
15. Pasal 479 tentang Perkosaan.
Di akhir rapat, Komisi Hukum DPR menerima penjelasan pemerintah terkait RKUHP hasil sosialisasi ini. Komisi Hukum akan menyampaikan surat pemberitahuan tindak lanjut pembahasan terhadap kedua rancangan aturan ini kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi. "Melalui pimpinan DPR," kata Wakil Ketua Komisi Hukum DPR Desmond Junaidi Mahesa saat membacakan kesimpulan rapat.
Kritik Aliansi
Aliansi kecewa karena mayoritas fraksi DPR tidak menghendaki adanya pembahasan kembali draf dari pemerintah. Selain itu, adanya tuntutan agar draf terbaru RKUHP dibuka ke publik juga dinilai tak muncul dalam rapat. "Sungguh sangat amat disayangkan," demikian kata Aliansi.
Padahal, kata Aliansi, pembahasan terdahulu RKUHP cukup substansial dan seharusnya hal tersebut diteruskan. Jokowi juga telah menyuarakan bahwa alasan penundaan pengesahan RKUHP pada September 2019 lalu karena masalah materi. "Malah lantas materi tidak dibahas," kata Aliansi.
Untuk itu, Aliansi meminta DPR dan pemerintah untuk membuka draf RKUHP kepada publik dan melalukan pembahasan terbuka. Entah itu untuk semua materi di dalam rancangan regulasi baru ini ataupun paling tidak pada 24 isu bermasalah menurut Aliansi. Total 24 isu bermasalah ini lebih banyak dari yang disinggung pemerintah, dan sudah diangkat Aliansi sejak November 2020.
Baca: DPR Akan Surati Presiden Jokowi Soal RKUHP, Ketok Palu Ditargetkan Juli 2022
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini